Minggu, 14 December 2025 04:35 UTC

Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo. Foto: Humas Mabes Polri
JATIMNET.COM – Peraturan Kapolri (Perkap) No 10 Tahun 2025 yang beberapa hari lalu diteken Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, terus menuai kritik. Kali ini kritik datang dari pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD.
Perkap tersebut membuka peluang 17 jabatan sipil diisi oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Padahal, beberapa pekan sebelumnya, MK sudah mengeluarkan putusan judicial review yang intinya menegaskan larangan penempatan anggota Polri di luar sejumlah Kementerian/Lembaga.
Mahfud menegaskan, Perkap tersebut bermasalah secara hukum, bahkan berpotensi menjadi bentuk pembangkangan terhadap undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Perkap Nomor 10 Tahun 2025 itu bertentangan dengan dua undang-undang,” ujar Mahfud, seperti dikutip dari kanal youtube miliknya. Pernyataan itu dikeluarkan mantan Menko Polhukam ini menanggapi berbagai pertanyaan publik yang masuk kepadanya.
Bertabrakan dengan UU Polri dan Putusan MK
Menurut Mahfud, konflik hukum pertama muncul dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Dalam Pasal 28 ayat (3) ditegaskan bahwa anggota Polri hanya boleh menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Ketentuan tersebut, kata Mahfud, bukan sekadar norma biasa, melainkan telah diperkuat secara konstitusional melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 118 Tahun 2025.
“Ketentuan terbatas itu sudah dikuatkan oleh putusan MK. Artinya, tidak bisa dibelokkan hanya dengan peraturan internal seperti Perkap,” tegas Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) ini.
Melanggar UU ASN: Polisi Tidak Diatur, Tapi Dipaksakan
Masalah kedua, lanjut Mahfud, adalah benturan Perkap tersebut dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), khususnya Pasal 19 ayat (3).
Pasal tersebut memang membuka peluang bagi TNI dan Polri untuk menduduki jabatan sipil di tingkat pusat, namun dengan satu syarat mutlak: harus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang masing-masing institusi.
Mahfud menyoroti fakta penting bahwa: Undang-Undang TNI secara tegas mengatur jabatan sipil yang boleh diduduki prajurit aktif (14 jabatan, bahkan bisa ditafsirkan menjadi 16),
Sementara Undang-Undang Polri sama sekali tidak mengatur jabatan sipil apa pun yang boleh diisi oleh anggota Polri aktif.
“Kalau undang-undangnya tidak mengatur, lalu tiba-tiba diatur lewat Perkap, itu jelas salah. Kalau memang mau, harus dimasukkan ke dalam undang-undang, bukan lewat peraturan Kapolri,” ujarnya.
Logika “Polisi Itu Sipil” Dinilai Menyesatkan
Mahfud juga mengkritik keras argumen yang kerap digunakan untuk membenarkan Perkap tersebut, yakni bahwa polisi adalah aparat sipil, sehingga dianggap wajar menduduki jabatan sipil.
Menurutnya, logika itu menyesatkan dan keliru secara hukum.
“Sipil tidak berarti bisa masuk ke semua jabatan sipil di luar profesinya. Seorang dokter tidak bisa bertindak sebagai jaksa. Jaksa tidak bisa menjadi dokter. Dosen tidak bisa jadi notaris. Semua ada batasan profesi dan kewenangan,” jelas Mahfud.
Ia menegaskan bahwa pemisahan profesi dan kewenangan adalah prinsip fundamental dalam negara hukum, dan tidak bisa dihapus hanya dengan alasan status “sipil”.
Dinilai Menggerus Asas Legalitas
Mahfud memperingatkan bahwa Perkap tersebut berpotensi merusak asas legalitas, yakni prinsip bahwa setiap tindakan pemerintahan harus memiliki dasar hukum yang sah dan hierarkis.
“Asas legalitas tidak boleh dipertentangkan dengan fakta-fakta di luar perundang-undangan yang sudah dibuat oleh Kapolri,” katanya.
Ia menekankan, jika praktik semacam ini dibiarkan, maka akan muncul preseden berbahaya, di mana peraturan internal dapat dengan mudah mengakali undang-undang dan putusan pengadilan konstitusional.
Tegaskan Bicara Sebagai Akademisi, Bukan Komisioner
Mahfud menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa kritik ini ia sampaikan sebagai akademisi dan dosen hukum, bukan sebagai anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri.
“Saya tidak bicara atas nama Komisi Reformasi. Saya bicara sebagai dosen dan pembelajar hukum,” tegasnya.
Seperti diketahui, Mahfud saat ini masuk menjadi anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP) yang dibentuk oleh Presiden Prabowo. Komisi ini merespon desakan publik yang mengecam kepolisian pasca tragedi kendaraan Brimob yang melindas pengendara ojol, dalam demo besar di Jakarta awal September 2025 lalu.
