Logo
Surat pernyataan keluarga dibuat sehari setelah mendiang dimakamkan.

Pemotongan Nisan Salib di Yogya Jadi Tanda Bahaya Toleransi

Reporter:,Editor:

Selasa, 18 December 2018 15:11 UTC

Pemotongan Nisan Salib di Yogya Jadi Tanda Bahaya Toleransi

Makam Albertus Slamet Sugiardi di pemakaman Jambon Kelurahan Purbayan Kotagede Yogyakarta itu. Foto: Abdus Somad.

JATIMNET.COM, Yogyakarta – Peristiwa pemotongan nisan berbentuk salib di pemakaman Jambon, Kotagede, Yogyakarta dinilai menjadi tanda bahaya bagi toleransi.

Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ummahat Kotagede KH. Abdul Muhaimin menilai peristiwa itu menorehkan luka bagi umat Katolik. “Karena ada masyarakat yang belum mampu memahami (toleransi-red),’’ katanya, Selasa 18 Desember 2018.

Ia berharap kasus serupa tak terulang. Sebab, kasus intoleransi sudah marak di Yogyakarta.

Menurut dia, sebuah pertemuan antara polisi, forum umat beragama, Kodim, dan pihak gereja digelar pasca peristiwa itu. Pertemuan yang berlangsung pukul 12.00 WIB itu menyepakati pembagian tugas. Pihak Katolik memberikan konseling pada korban dan forum umat beragama memberikan penyadaran pada masyarakat.

Meski proses dialog sudah dilakukan, ia mengatakan, pemerintah dan aparat wajib menjamin kebebasan beragama tiap individu. Sehingga keselamatan umat beragama terjaga.

“Kami berharap kasus ini menjadi poin untuk memperbaiki. Di masyarakat sendiri ada jaminan konstitusi beragama, jadi harus didukung stakeholder setempat,’’ katanya.

BACA JUGA: Nisan Salib Terpotong, Ketua RW: Sesuai Dengan Kesepakatan

Sebelumnya, nisan pusara Albertus Slamet Sugiardi telah dipotong berdasarkan kesepakatan warga dan keluarga. Tapi kesepakatan itu dibuat sehari setelah jasad mendiang dimakamkan pada 17 Desember 2018.

Surat itu dibuat pada 18 Desember dan diteken keluarga mendiang, tokoh masyarakat Bedjo Mulyono, Ketua RT 53 Soleh Rahmad, dan Ketua RW 13 Slamet Riyadi.

Koordinator Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) Agnes Hening Ratri menyatakan kejadian itu haruslah menjadi alarm tanda bahaya atas maraknya intoleransi di Yogyakarta. “ Intoleransi ini nyata dan tumbuh,” katanya.

Serupa dengan Muhaimin, Agnes meminta pemerintah dan tokoh agama untuk memberikan pengertian tentang bertoleransi dan menghargai sesama umat beragama.

“Jadi pemerintah dan tokoh agama harus memberi pengertian untuk umatnya, untuk jemaahnya, kita harus saling menghargai,” tegasnya