Logo

Pemberitaan Bunuh Diri yang Keliru Sebabkan Bunuh Diri Tiruan

Reporter:

Minggu, 24 February 2019 07:10 UTC

Pemberitaan Bunuh Diri yang Keliru Sebabkan Bunuh Diri Tiruan

Ilustrasi. Foto: pixabay

JATIMNET.COM, Surabaya-Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bersama Komunitas Into The Light dan LBH Pers melakukan survei tentang pengetahuan jurnalis tentang isu bunuh diri mulai Januari-Februari 2019.

Anggota Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta, Widia Primastika mengatakan, survei di atas dilatari ramainya pemberitaan mengenai peristiwa bunuh diri di media massa.

Foto dan video adegan bunuh diri bahkan tersebar luas di media sosial tanpa henti-henti. Peristiwa bunuh diri secara jelas dapat memunculkan rasa ngeri, dan berpotensi menimbulkan trauma yang mengganggu kesehatan jiwa bagi masyarakat juga keluarga korban.

BACA JUGA: Angka Bunuh Diri Global Turun 30 Persen

Dari sisi pemberitaan, umumnya media massa menguraikan metode atau cara bunuh diri dengan rinci. Media massa juga secara absolut menyebutkan penyebab tunggal hingga penggambaran kondisi korban secara mengerikan.

Pengemasan pemberitaan jurnalistik seperti ini tentunya melanggar Kode Etik Jurnalistik terkait larangan pemberitaan yang sadis dan itikad buruk. Pemberitaan tersebut justru keluar dari koridor fungsi pers sebagai penyampaian edukasi ke publik.

"Informasi bunuh diri yang rinci bisa mendorong orang dengan depresi atau dengan masalah serupa untuk melakukan bunuh diri, efek ini dinamakan Efek Werther," kata Anggota Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marjinal AJI Jakarta, Widia Primastika dalam keterangan pers, Minggu 24 Februari 2019.

BACA JUGA: Rekayasa Suami Bunuh Diri Diganjar Sembilan Tahun

Berdasarkan survei yang diikuti 132 jurnalis dari 83 media di Indonesia menunjukkan pengetahuan jurnalis terhadap isu bunuh diri masih rendah.

Primastika menjelaskan, dalam penelitian yang dimulai sejak Januari – Februari 2019, mengelompokkan jurnalis ke dalam 3 kategori, yakni muda (bekerja 1-5 tahun) sebanyak 53 persen, madya (bekerja 6-10 tahun) sebanyak 45 persen, dan utama (bekerja lebih dari 10 tahun) sebanyak 32 persen.

 “Hasilnya, mayoritas jurnalis kategori muda setuju, kematian akibat bunuh diri lebih layak diberitakan daripada menginformasikan tentang pemikiran dan perencanaan bunuh diri seseorang. Sementara, sebagian besar jurnalis kelompok madya menganggap kejadian bunuh diri dari tokoh publik adalah hal yang luar biasa,” kata Primastika.

BACA JUGA: Tujuh Jenazah Bom Bunuh Diri Dimakamkan di TPU Dinsos Sidoarjo

Pengurus Komunitas Into The Light Venny Asyita mengatakan, secara umum setiap kelompok jurnalis menganggap pentingnya pedoman pemberitaan bunuh diri untuk meminimalisasi dampak dari kejadian bunuh diri.

Venny juga mengatakan penelitian ini dilakukan karena peran jurnalis sangat penting dalam memahami isu bunuh diri.

“Pemberitaan bunuh diri dengan memunculkan metode yang jelas dan dramatis membuat masyarakat gelisah. Apalagi ditambah penggunaan media sosial yang semakin liar,” katanya.

Pentingnya pedoman pemberitaan demi memperkuat fungsi pers sebagai pemberi edukasi ke publik.

BACA JUGA: Bom Bunuh Diri di Kabul Tewaskan 48 Orang

Pengacara LBH Pers, Gading Yonggar Ditya mengatakan pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Di kalangan pekerja media, isu bunuh diri memang hal yang asing, tapi kami melihat bahwa semakin banyak pengalaman yang dimiliki jurnalis akan meningkatkan pengetahuan mereka terhadap isu umum bunuh diri yang salah,” kata Gading.

Gading menambahkan, Jurnalis juga harus menyadari Pasal 8 ayat 7 UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa mengamanatkan media massa untuk turut berperan dalam upaya promotif kesehatan jiwa. “Komentar negatif dalam peristiwa bunuh diri dapat membuat orang dengan kecenderungan bunuh diri dan depresi enggan mencari bantuan lantaran takut terkena stigma dan penghakiman dari orang banyak,” katanya.