Senin, 05 October 2020 04:00 UTC
AKSI BURUH. Ratusan buruh menggelar aksi di depan Gedung DPRD Jawa Timur, Selasa 25 Agustus 2020. Foto: Baehaqi/Dokumen
JATIMNET.COM, Surabaya - Ketua FSP KEP - Kimia Energi dan Pertambangan SPSI Judha Purwanto menilai rancangan undang-undang Omnibus Law atau Cipta Kerja merugikan buruh. Ia berharap rancangan undang-undang tersebut tidak terus bergulir hingga pengesahaan. Mengingat situasi yang masih pandemi Covid-19.
Menurut catatan Judha, sejak merebaknya virus SARS CoV-2 di Jawa Timur banyak pekerja yang kehilangan penghasilan karena dirumahkan dan di putus hubungan kerja. Di Sidoarjo, kata Judha, sekitar 15 ribu karyawan di rumahkan, dan 5000 lainnya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Kami sangat berharap terutama pada klaster ketenagakerjaan. Kami meminta agar UU Cipta Kerja di tarik dari Omnibus Law. Tapi secara keseluruhan ya Tolak Omnibus Law," ujar Judha, Minggu 4 Oktober 2020.
BACA JUGA: Buruh Geruduk DPRD Jatim, Bawa Tiga Tuntutan
Ia pun mengapresiasi sikap Partai Demokrat yang menyatakan menolak disahkannya RUU Cipta Kerja. Setidaknya sudah ada yang membela buruh. Judha berharap, sikap ini juga ditunjukkan partai lain di parlemen.
"Karena dengan kondisi seperti saat ini, dimana kita sedang dalam kondisi terpuruk karena Covid. Harusnya mereka punya nurani untuk memikirkan pekerja," terangnya.
"Jika benar memikirkan dan membela nasib pekerja maka harusnya ini bisa diikuti oleh partai lain. Karenanya kami berharap Demokrat berjuang untuk mengajak partai lain, agar menolak Undang Undang yang merugikan pekerja ini," imbuhnya.
Judha mengingatkan pemerintah agar tidak berdalih investasi lalu merasa seolah undang-undang ini sesuatu yang benar. Sejauh ini, menurut dia, investasi justru mengerilkan peran pekerja lokal.
BACA JUGA: Dampak Covid-19, 3.095 Buruh di Probolinggo Alami Putus Kontrak Kerja, Dirumahkan Hingga PHK
Sebelumnya, Kepala Bidang Buruh dan Miskin Kota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang juga juru bicara Getol Jatim, Habibus mengatakan, serikat buruh telah menyepakati untuk melakukan perlawanan penolakan undang-undang Omnibus Law mulai 6-8 Oktober 2020.
Rencana aksi akan dilakukan di masing-masing daerah dan dipabrik tanggal 6-7 Oktober 2020. Sedangkan pada 8 Oktober 2020, aksi dipusatkan di Surabaya.
"Ada beberapa problem terkait pesangon dan upah bukan KHL (Kebutuhan Hidup Layak) tapi berdasarkan inflasi, kemudian ada juga soal penghapusan upah minimum sektoral," kata dia.