Logo

Pemberitaan Prostitusi Online, Pakar Komunikasi: Kliennya Juga Harus Diungkap

Reporter:,Editor:

Selasa, 08 January 2019 08:25 UTC

Pemberitaan Prostitusi Online, Pakar Komunikasi: Kliennya Juga Harus Diungkap

Vanessa Angel usai menjalani pemeriksaan di Mapolda Jatim. Foto: Khaesar Glewo

JATIMNET.COM, Surabaya – Pakar Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi menilai pemberitaan media massa terkait kasus prostitusi online masih menunjukkan hegemoni patriarki dalam peliputannya.

Pernyataan itu disampaikan Airlangga terkait maraknya pemberitaan media tentang tertangkapnya dua artis ibu kota; VA dan AS karena diduga terlibat perkara prostitusi. 

“Tubuh perempuan dianggap sebagai obyek pemberitaan untuk menampilkan berita-berita sensasional,” katanya, Rabu 8 Januari 2018.

Dalam pemberitaan prostitusi online, dia menilai media belum menempatkan perempuan dan laki-laki dalam posisi yang setara.

Sehingga, ketika ada peristiwa prostitusi online, media ramai-ramai menyorot pelaku perempuannya.

Di sisi lain, belum ada upaya kritis untuk mengungkap siapa yang menjadi klien dari artis tersebut. Menurut Airlangga, dalam pemberitaan media beberapa hari terakhir ini, perempuan lebih banyak dianggap sebagai sumber kejahatan.

BACA JUGA: Komnas Perempuan Sayangkan Pemberitaan Prostitusi Daring yang Berlebihan

Sedangkan subyek laki-laki yang dalam kasus ini bertindak sebagai klien, hampir tidak ditampilkan.

“Konstruksi kesadaran masing-masing pihak yang menempatkan secara otomatis, perempuanlah yang paling bersalah dan disalahkan di kasus prostitusi,” katanya.

Hal ini, kata dia, mempengaruhi respons masyarakat, terutama di dunia maya yang menjadikan perempuan dan tubuh perempuan sebagai bahan olok-olok.

BACA JUGA: Pekerja Seks Sering Dijadikan Umpan Menangkap Germo Kelas Kakap

“Akhirnya perempuan sebagai fokus utama untuk di-bully, direndahkan dan sebagainya. Itu terjadi karena perspektif hegemoni patriarki,” katanya.

Dia menjelaskan seorang lelaki terlibat dalam prostitusi dianggap sebagai hal yang wajar dan lumrah. Sementara perempuan dituntut untuk hidup lebih mulia dan suci.

“Ini sebagi konstruksi peradaban partriarki. Selama kesadaran kesetaraan antara perempuan dan lelaki tidak ada, maka akan selalu tidak berpihak kepada perempuannya,” ujarnya.