Logo

Misbakhun Desak Ditjen Pajak Konsisten Terapkan PPN 12 Persen Hanya untuk Barang dan Jasa Mewah 

Reporter:,Editor:

Jumat, 03 January 2025 07:20 UTC

Misbakhun Desak Ditjen Pajak Konsisten Terapkan PPN 12 Persen Hanya untuk Barang dan Jasa Mewah 

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun sekaligus Sekjen Depinas SOKSI. Foto: Partai Golkar

JATIMNET.COM, Jakarta – Akhir tahun 2024, Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa penerapan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah.

Faktanya, Ketua Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun justru menemukan hal yang berbeda dalam penerapan yang dilakukan Dirjen Pajak.

"Anehnya, perintah yang sudah jelas tersebut tidak bisa diterjemahkan dengan jelas oleh para birokrat di Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP)," kata Misbakhun dalam keterangan tertulis, Jumat, 3 Januari 2025.

"Sehingga aturan pelaksanaannya di PMK (Peraturan Menteri Keuangan) sangat membingungkan dan menimbulkan kerancuan dalam penerapannya karena menggunakan dasar pengenaan dengan nilai lain 11/12 dimana ada penafsiran tunggal seakan-akan UU HPP tidak bisa menerapkan tarif PPN dengan multitarif," katanya.

Misbakhun membeberkan dalam pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) jelas tidak ada larangan soal multitarif PPN, sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen diterapkan bersamaan sekaligus.

BACA: Kemplang Pajak, Kontraktor Asal Gresik Divonis Dua Tahun Penjara

Tarif PPN 11 persen untuk yang tidak naik dan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.

"Tetapi ketika PMK 131 membuat dasar perhitungan yang membingungkan dunia usaha dalam penerapan tarif PPN 11 persen yang tidak naik dengan menggunakan istilah dasar pengenaan lain, maka ini menimbulkan pertanyaan soal loyalitas birokrat di Direktorat Jenderal Pajak khusus Dirjen Pajak dalam menterjemahkan perintah Bapak Presiden Prabowo yang sudah jelas," katanya.

Sementara itu, Kementerian Keuangan dengan PMK Nomor 131 Tahun 2024 menyatakan bahwa atas barang/jasa yang bukan dalam kategori barang mewah dikenakan PPN dengan tarif 12 persen dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak.

Dimana DPP adalah nilai lain, dalam hal ini 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.

Sedangkan untuk masa transisi pada tanggal 1 Januari 2025 sampai dengan 31 Januari 2025, pengenaan PPN barang mewah dikenakan tarif 12 persen dengan DPP yang sama dengan barang atau jasa yang bukan barang mewah.

"Presiden Prabowo menghendaki tarif PPN yang berlaku adalah 11 persen dan bukan 12 persen untuk barang/jasa yang bukan barang mewah. Tetapi dalam peraturan tersebut menyampaikan bahwa tarif PPN yang berlaku adalah 12 persen. Memang dasar pengenaan pajak atau faktor pengalinya menggunakan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual dengan hasil akhir nilai PPN yang dipungut tetap 11 persen atau PPN tidak mengalami kenaikan tarif," katanya.

BACA: Komisi B DPRD Jatim Minta Wacana PPN Dikaji Ulang

"Tetapi peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat, dimana beberapa perusahaan retail telah memungut PPN sebesar 12 persen seperti yang disampaikan Direktur Jenderal Pajak dalam media briefing 2 Januari 2025," katanya.

Ia menganggap persiapan dan pembuatan keputusan yang sangat mepet dengan pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak memberikan waktu kepada pengusaha untuk mempersiapkan perubahan di dalam sistemnya.

Walaupun pada akhirnya PPN terutang dapat dihitung ulang menggunakan mekanisme pada SPT masa PPN, tetapi membuat masyarakat harus membayar lebih dari yang seharusnya.

"Sudah seharusnya Kementerian Keuangan RI dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak membuat peraturan dengan bahasa yang lebih sederhana, tidak menimbulkan multitafsir, dan tetap menggunakan mekanisme penyusunan peraturan yang seharusnya. Apakah Kementerian Keuangan terutama Direktorat Jenderal Pajak telah menterjemahkan instruksi presiden dengan tepat?," kata politikus Partai Golkar ini.

Tidak seharusnya, menurut Misbakhun, Direktorat Jenderal Pajak membuat penafsiran ataupun membuat ketentuan yang berbeda dengan perintah Presiden Prabowo sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya.

"Kalau Dirjen Pajak tidak mampu melaksanakan perintah Bapak Presiden Prabowo sebaiknya memilih untuk menulis surat pengunduran diri," katanya.

"Karena apa yang dibuat soal aturan pelaksanaan teknis ini sudah tidak seirama dengan kemauan dan kehendak Bapak Presiden Prabowo, karena punya tafsir subyektif soal pasal UU HPP yang sudah jelas berakibat menimbulkan pelaksanaan yang menimbulkan kegaduhan di kalangan dunia usaha," kata Sekjen Dewan Pimpinan Nasional (Depinas) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) ini.