Sabtu, 20 April 2019 04:57 UTC
"PRASASTI". Pusat karantina haji pertama Indonesia terletak di Pulau Rubiah, Sabang, Aceh yang didirikan di jaman penjajahan Belanda.
JATIMNET.COM, Aceh - Baru-baru ini, tepatnya pada Minggu 14 April 2019, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh melakukan observasi ke tempat Karantina Jamaah Haji Nusantara yang terletak di Pulau Rubiah, Sabang.
Bangunan itu merupakan catatan sejarah perhajian Indonesia yang dibangun tahun 1920 pada zaman kolonial Belanda. Saat itu, bangunan ini menjadi tempat persinggahan terakhir dari kapal jamaah haji yang hendak pergi ke atau pulang dari Mekkah.
Tim dipimpin Kabag TU Kanwil Kemenag Aceh, Saifuddin. Mereka melihat bangunan dan jejak perjalanan haji nusantara di sana. Tim juga melakukan wawancara dengan narasumber yang mengetahui tentang sejarah tersebut.
Bangunan karantina haji tempo dulu itu sudah tidak terawat. Kondisi bangunannya memprihatinkan karena dipenuhi reruntuhan atap plafon. Bagian luarnya, dipenuhi ilalang setinggi pinggang orang dewasa. Gedung itu terkesan gedung tua yang dibiarkan begitu saja.
Di bagian depan, terdapat sumur tua, sebagai tempat penampungan air. Namun, kondisinya juga terbengkalai begitu saja, dipenuhi sampah pepohonan di dalamnya.
BACA JUGA: Indonesia Terapkan Makkah Route untuk Haji 2019
Teuku Yahya yang merupakan keturunan dari pemilik sebagian besar tanah di Pulau Rubiah, menceritakan bahwa gedung karantina haji itu digunakan sampai Jepang masuk ke Indonesia.
Saat Indonesia merdeka, Gedung Karantina Haji ini tidak digunakan lagi. Pemberangkatan Jemaah haji dilakukan melalui asrama haji di Kampung Haji Kota Sabang sampai dengan tahun 70-an.
“Gedung ini merupakan Tempat Karantina Haji untuk seluruh jemaah haji yang akan berangkat ke Jeddah (Saudi Arabia) melalui Transportasi Laut," katanya dalam laman Kementerian Agama.
BACA JUGA: Kuota Jemaah Haji Indonesia Bertambah Sepuluh Ribu Orang
Gedung Karantina Haji dibangun memadati lebih dari Setengah Pulau Rubiah. Di sana tersedia rumah sakit dan fasilitas “loundry”. ia menceritakan proses pemberangkatan jemaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang satu sampai dua bulan sebelum keberangkatan.
"Kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina itu antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan,” ujar Tgk Yahya kepada Tim Kemenag Aceh.
Menurut Yahya, banyak juga kapal-kapal kecil dari Pulau Jawa dan daerah lainnya yang mengantarkan jemaah haji ke gedung karantina haji ini, sebelum kapal besar dari Jeddah menjemput jemaah haji.
“Kapal besar tersebut tidak berlabuh di Pulau Rubiah, sehingga jemaah setelah lolos pemeriksaan akan dibawa ke Kapal Besar tersebut dengan menggunakan kapal-kapal kecil," katanya.
BACA JUGA: Kuota Jemaah Haji Indonesia Bertambah Sepuluh Ribu Orang
Pada masa pemulangan, jemaah juga harus dikarantina kembali selama lebih kurang satu bulan, meskipun jemaah tersebut berasal dari Iboih (Sabang), sebelah Pulau Rubiah, tidak diperbolehkan pulang.
Setelah melakukan pemeriksaan kesehatan dan seluruh baju jemaah dicuci pada “loundry”, baru Jemaah diperbolehkan dijemput untuk pulang kembali ke daerah masing-masing.
Saifuddin mengaku prihatin melihat tempat bersejarah ini. Dia berharap tempat tersebut mendapat perhatian Pemerintah Daerah sehingga bisa dijadikan sebagai situs sejarah. Jika memungkinkan, dibangun museum haji sebagai pusat edukasi di masa mendatang.
BACA JUGA: 38 Persen Jemaah Haji Telah Rekam Biometrik
“Tempat Karantina haji di Pulau Rubiah ini memiliki catatan sejarah dalam riwayat perjalanan haji Indonesia. Dulu, tempat ini merupakan pusat karantina haji pertama di Indonesia," katanya.
Ia mengatakan lebih bermanfaat kalau asrama haji ini bisa dijadikan situs sejarah dan museum haji, yang menyimpan banyak koleksi arsip, foto-foto haji, buku, catatan perjalanan haji, replika kapal ke Jeddah dan pemugaran serta perawatan bangunan lebih layak.
"Karena selain tempat bersejarah, bangunan tersebut juga cocok dijadikan tempat wisata Islami,” lanjut Saifuddin.
Saat ini, kondisi bangunan itu sudah tidak terawat, hanya tersisa beberapa bangunan saja yang sudah dikelilingi semak blukar, sehinga banyak yang tidak tahu akan sejarah tersebut.
“Sekarang Wisatawan lebih menyukai mengamati aneka ikan dengan melakukan snorkling atau menikmati taman laut dengan menyelam (diving),” lanjutnya.
