Logo

Meluasnya Tambang Gerus Resapan Air dan Kerusakan Lingkungan

Reporter:,Editor:

Minggu, 28 July 2019 12:28 UTC

Meluasnya Tambang Gerus Resapan Air dan Kerusakan Lingkungan

KIRIMAN AIR. Kekeringan di sejumlah daerah menyebabkan neraca air kian menyusut yang disebabkan kerusakan alam. Foto: IST.

JATIMNET.COM, Surabaya – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur menyebut, potensi desa terdampak kekeringan sebanyak 822 titik. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan tahun 2018 yang mencapai 725 desa.

Namun jumlah 822 desa itu bersifat dinamis, yang bisa berkurang atau justru lebih. Mengingat puncak musim kemarau deperkirakan terjadi pada bulan Agustus.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, Rere Christanto menilai, bertambahnya desa yang diperkirakan terdampak kekeringan disebabkan dua hal. Pertama imbas La Nina yang membuat kemarau tahun ini lebih panjang, dan kedua secara umum dipengaruhi kerusakan lingkungan.

Penelitian yang pernah dilakukan pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menunjukkan neraca air di Jawa tidak terlalu tinggi. Daya dukung ketersediaan air hanya berkisar satu hingga dua bulan.

BACA JUGA: Air Waduk Kian Habis, Pemkab Madiun Tambah Submersible

Artinya, lanjut Rere, tidak adanya hujan lebih dari dua bulan bisa mengakibatkan kekeringan di seluruh Pulau Jawa. “Yang dibutuhkan memperbanyak kawasan lindung menjadi kawasan resapan air. Karena kita sudah tahu situasi yang dihadapi oleh ekologi Jawa,” ujar Rere, Minggu 28 Juli 2019.

Namun yang terjadi justru kebijakan pemerintah bertolak belakang dengan fakta ancaman kekeringan. Di mencontohkan kawasan tambang di Jatim meningkat dari 2012 ke 2016. “Tahun 2012 luasan tambang hanya 80 ribu hektar, sedangkan tahun 2016 sudah 551 ribu hektar,” ungkapnya.

Luasan tambang yang semakin bertambah ini, disebutkan Rere, turut menyumbang kerusakan kawasan hutan dan alam yang berpengaruh pada luas wilayah resapan air.

BACA JUGA: Kekeringan, 18 Desa di Lumajang Bergantung pada Bantuan Air BPBD

Salah satu yang cukup mengkhawatirkan yakni di Pegunungan Kars, atau daerah Tuban, Lamongan hingga ke Barat Pulau Jawa. Pertambangan yang merusak kawasan itu memengaruhi resapan air.

“Meskipun di permukaan tampak gersang, kawasan Kars bisa menyerap air dalam jumlah besar, terutama di sungai bawah tanah. Lah, itu dibongkar untuk kawasan tambang,” imbuhnya. Kondisi tersebut diperparah dengan rusaknya ekologi pada wilayah resapan di hulu Sungai Brantas.

Data yang disebutkan Rere, tahun 2010 masih ada sekitar 111 sumber mata air di wilayah Batu dan sekitarnya dan terduksi tahun 2016 menyisakan 51 titik. “Hampir separuh kawasan sumber mata air di Kota Batu hilang,” kata Rere.

BACA JUGA: Kekeringan, Warga Tegalsiwalan Probolinggo Didroping Air Bersih

Sementara itu, Kepala BPBD Jawa Timur Suban Wahyudi mengakui potensi desa kekeringan jumlahnya masih bisa dinamis. Mengingat saat ini kemarau masih memasuki masa awal.

“Karena kemarau kadang bisa maju, bisa juga mundur, dan bisa juga panjang. Kalau tanya ini hanya prediksi, realisasinya bisa lebih, atau kurang,” kata Suban.

Lama tidaknya kekeringan, menurutnya, juga dipengaruhi dari ketangguhan masyarakat menghadapi bencana. Sampang misalnya, sebagai kabupaten dengan jumlah desa kekeringan terbanyak justru baru meminta suplai air. Sedangkan Magetan meminta kiriman air lebih awal.

“Masyarakat Sampang menyimpan air hujan dalam tandon. Dengan begitu, daerah yang terdampak kekeringan, tidak otomatis terdampak. Di Magetan, meski hanya satu desa, tapi sudah minta kiriman air lebih awal,” tandas Suban.