Logo

Malasigi, Kampung Kecil di Papua yang Teguh Menjaga Paru-Paru Bumi

Reporter:,Editor:

Senin, 23 June 2025 07:00 UTC

Malasigi, Kampung Kecil di Papua yang Teguh Menjaga Paru-Paru Bumi

Menase Fami, Kepala Kampung Malasigi, Papua saat sesi diskusi yang diselenggarakan dalam Media Gathering Pertamina EP di Makassar, Senin siang, 23 Juni 2025. Foto: Pertamina EP

JATIMNET.COM — Kampung kecil di ujung timur Indonesia itu bernama Malasigi. Kehidupan di sana mulai menggeliat pelan saat fajar menyingsing. Ketika itu, pucuk pepohonan hutan hujan Papua ikut tersapu terang setelah malam yang gelap berlalu.   

Malasigi merupakan salah satu kampung binaan ekowisata dari Pertamina EP.  Penghuninya terdiri empat sub-suku Moi, yakni Sakma, Kelim, Kalbra, dan Abun.

Kampung ini bukan sekadar tempat tinggal. Namun, juga benteng terakhir dari penjaga warisan alam dan budaya yang masih murni di tengah modernisasi zaman.

Malasigi mungkin tidak tercantum di peta wisata populer Indonesia. Tapi di tahun 2024, desa ini menyita perhatian nasional saat dinobatkan sebagai Juara 1 Desa Wisata Rintisan dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI).

BACA: Empat dari 50 Besar Peserta Ajang ADWI 2022 dari Jatim

Penghargaan itu didapat karena satu hal, yakni komitmen dan keteguhan menjaga, merawat paru-paru bumi serta budaya leluhur.

"Hutan ini mama (ibu,red) kami. Kami rawat dia, dan dia rawat kami,” kata Kepala Kampung Malasigi, Menase Fami, dalam sesi diskusi yang diselenggarakan dalam Media Gathering Pertamina EP di Makassar, Senin, 23 Juni 2025.

Luas hutan adat yang dikelola masyarakat Malasigi mencapai 1.750 hektare. Wilayah ini telah diakui secara resmi oleh pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Pengelolaan Hutan Kampung (SKPH).

Bagi warga Malasigi, ungkap Manase, hutan bukan hanya ruang menggantungkan kehidupan karena sumber daya alamnya.

Bentang alam itu juga sebagai rumah bagi roh leluhur dan tempat pendidikan. Setiap jenis kayu, tanaman rambat, bahkan cuitan burung memiliki makna. Tak satu pun boleh diambil sembarangan.  “Kami hidup dari hutan, tapi tidak mengambil lebih dari yang kami perlu,” tuturnya.

BACA: Pemkab Probolinggo Siapkan 100 Desa Wisata dan 100 Event untuk Pengembangan Pariwisata

Di Malasigi, ekowisata dan adat berjalan bersisian. Pengunjung datang untuk menyusuri gua-gua alam, mandi di sumber air panas alami, dan mengamati satwa endemik Papua.

Semua aktivitas tersebut dijalankan sesuai aturan adat: diam, sopan, dan minta izin kepada pemangku hak ulayat.

Salah satu destinasi utama Malasigi adalah pemandian air panas, yakni kolam alami di tengah rimbunnya hutan. Airnya hangat, uapnya tipis mengambang seperti dupa yang naik ke langit hutan. Tapi tak sembarang orang bisa masuk.

Diskusi yang diselenggarakan dalam Media Gathering Pertamina EP di Makassar, Senin, 23 Juni 2025. Foto: Pertamina EP

Menurut adat setempat, mata air itu sakral dan menjadi tempat keramat yang dijaga oleh para tetua secara turun-temurun.

Untuk masuk dan mandi, pengunjung wajib mengikuti ritual adat terlebih dulu. Aturan dan larangan bukan mitos belaka, tapi bentuk penghormatan terhadap keseimbangan antara manusia dan alam.

BACA: Pertamina EP Komitmen Kembangkan Pendidikan di Bangkalan

Untuk menjaga kesucian mata air itu, perempuan yang sedang menstruasi dilarang masuk sana.
“Sumber air panas itu bukan kolam biasa. Untuk masuk saja, harus ada ritual terlebih dulu," ujar Manase.

Kelestarian hutan Malasigi memang telah menyedot perhatian secara nasional. Namun demikian, warga di sana masih menyimpan kegelisahan.

Salah satu kekhawatiran terbesar mereka yakni adanya perusahaan yang tak bertanggung jawab, utamanya jika ditanami pohon sawit.

Di antara gelisah, warga Malasigi tetap semangat untuk menjaga hutan adat. Mereka juga tetap memperkuat sistem adat sebagai benteng perlindungan.

BACA: Kesan Wisatawan Asing Mengikuti Tradisi Tumpeng Sewu di Desa Kemiren Banyuwangi 

Di Malasigi, ekonomi bukan alasan untuk mengorbankan ekologi. Malasigi menjadi pengingat bahwa bumi bisa dijaga, bukan hanya dengan teknologi tapi dengan tradisi.

Mereka bukan hanya warga kampung terpencil. Mereka adalah penjaga paru-paru bumi yang menjaga napas alam tetap berhembus dari jantung Papua. Suasananya tenang, mempertahankan adat dengan penuh rasa hormat.

“Kalau hutan habis, kita juga ikut habis. Hutan bukan hanya tempat tinggal, tapi dia juga melindungi kami," katanya.

Dukungan dari Pertamina EP Papua Field juga jadi titik penting. Program pendampingan, pelatihan, dan promosi desa wisata dilakukan dengan prinsip lingkungan, sosial dan nilai-nilai berkelanjutan. Tapi, arah utamanya tetap ditentukan masyarakat adat sendiri.