Jumat, 15 February 2019 10:13 UTC
Posisi rupiah melemah jelang penutupan yang disebabkan lambatnya perundingan dagang antara AS dan Cina. Foto: Dok
JATIMNET.COM, Jakarta – Lambannya perundingan perdagangan antara Amerika Serikat dengan Cina pada Jumat 15 Februari di Beijing memberi sentimen negatif bagi pelemahan mata uang regional, termasuk rupiah. Hingga siang Jumat 15 Februari 2019 rupiah tergelincir atau diperdagangkan pada posisi Rp 14.126 per dolar AS.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan perhatian pelaku pasar tertuju pertemuan Wakil Perdana Menteri China Liu He dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin di Beijing.
“Pelemahan mata uang regional dipengaruhi concern (perhatian) pasar terhadap progres perundingan dagang yang berjalan lambat,” kata Nanang.
Pertemuan kedua raksasa ekonomi itu menimbulkan dinamika di pasar keuangan pada Jumat 15 Februari 2019 pagi. Dinamika itu antara lain aksi pembelian aset kembali atau short covering oleh perbankan yang lazimnya menimbulkan koreksi teknikal di pasar terhadap mata uang.
BACA JUGA: AS-Cina Sepakat Perang Dagang Ditangguhkan
“Pelemahan rupiah lebih ke koreksi teknikal. Pelemahan rupiah lebih disebabkan short covering perbankan di tengah melemahnya seluruh mata uang regional hari ini," kata dia.
Short Covering merupakan aktivitas pelaku pasar dengan membeli kembali aset di pasar dengan tujuan untuk melindungi, atau meminimalisasi potensi kerugian atas penjualan yang dilakukan sebelumnya karena pergerakan harga.
Sejalan dengan ekspektasi pasar terhadap perundingan dagang AS-Cina, nilai tukar rupiah stagnan di Jumat siang setelah melemah sejak perdagangan pada Jumat pagi.
Hingga pukul 15.30 WIB, atau menjelang penutupan, rupiah diperdagangkan pada posisi Rp 14.126 per dolar AS, atau melemah 30 poin dari nilai pembukaan Jumat pagi.
BACA JUGA: Perang Dagang AS-Cina Lemahkan Rupiah
Sementara, terkait sentimen domestik akibat defisit neraca perdagangan Indonesia periode Januari 2018 yang menembus 1,16 miliar dolar AS, Nanang menganggap hal tersebut tidak menjadi sentimen yang memperlemah rupiah.
Pasalnya, defisit neraca perdagangan yang mencerminkan masih lesunya ekspor itu sudah diperkirakan pelaku pasar. Meskipun besaran defist yang timbul memang lebih besar daripada ekspektasi pasar.
“Bukan disebabkan defisit perdagangan 1,16 miliar dolar AS, sedikit lebih tinggi dari ekspektasi pasar yang 917 juta dolar AS,” ujar Nanang. (ant)