Senin, 16 November 2020 05:00 UTC
SIDANG KORUPSI. Suasana sidang kasus dugaan korupsi penggalian mineral tanpa izin proyek normalisasi sungai di Kabupaten Mojokerto, nama mantan Bupati Mojokerto diduga ikut terlibat. Foto: Baehaqi
JATIMNET.COM, Mojokerto - Jaksa Penunutut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Mojokerto menuntut terdakwa Didik Pancaning Argo, Kepala Disperindag (Kadisperindag) Kabupaten Mojokerto nonaktif dengan tuntutan 18 bulan penjara atau 1 tahun enam bulan penjara dan denda Rp 100 juta dengan subsider tiga bulan kurungan penjara.
Pasalnya, jaksa menilai terdakwa dianggap bersalah melakukan korupsi penggalian mineral tanpa izin dalam proyek normalisasi sungai di Kabupaten Mojokerto tahun 2016-2017. sebagaimana diatur dalam pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dengan ancaman pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Hanya saja, tuntutan ini lebih ringan dari dakwaan. Sebelumnya, Didik didakwa dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan ancaman hukuman minimal 4 tahun penjara.
BACA JUGA: Nama Mantan Bupati Mojokerto Disebut Dalam Sidang Dugaan Korupsi Normalisasi Sungai
Sekadar informasi, kasus dugaan korupsi normalisasi sungai Landaian Gondang dan Sungai Jurang Cetot Kecamatan Jatirejo tahun 2016, saat itu Didik menjabat sebagai Kepala Dinas PU Pengairan.
"Sesuai petunjuk pimpinan Kejati Jatim, kami membacakan tuntutan kalau terdakwa dituntut 1,5 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan," kata Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Kabupaten Mojokerto Rahmat Hidayat, Senin, 16 November 2020.
Pada persidangan sebelumnya, Selasa, 15 September 2020 ini, sudah mengembalikan kerugian negara Rp 1,03 milar. "Karena statusnya bukan jadi barang bukti, uang Rp 1,03 miliar yang dititipkan ini akan dipertimbangkan, dirampas negara sebagai uang pengganti kerugian negara," ia memaparkan.
Meski begitu, uang itu juga akan menjadi pertimbangan dalam tuntutan. Sebab, dengan pengembalian itu, secara tidak langsung negara diuntungkan. "Tidak semata-mata kita menindak. Tetapi, jika tidak ada yang negara dapatkan, kan sia-sia. Itu yang menjadi petunjuk presiden juga pada semua aparat penegak hukum," imbuhnya.
BACA JUGA: Terdakwa Korupsi Normalisasi Sungai di Mojokerto Kembalikan Kerugian Rp1,03 milar
Tak hanya itu, untuk sejumlah barang bukti terdakwa juga diminta untuk mengembalikan. Seperti, untuk alat berat agar dikembalikan ke Dinas PUPR Kabupaten Mojokerto.
Sedangkan, untuk barang bukti pasir bercampur bebatuan, dalam bacaan tuntutan jaksa juga memintaya supaya untuk dikembalikan ke negara melalui Balai Besar Wilayah Sungai Brantas (BBWS).
Dimana sebelumnya pasir bercampur batu ini diolah di CV Musika sebuah perusahaan pemecah batu milik keluarga besar Mustofa Kamal Pasa (MKP) mantan Bupati Mojokerto yang sekarang berada di Lapas Porong, Pasuruan.
"Barang bukti ini masih berada di pabrik (CV Musika). Terserah balai besar mekanismenya seperti apa, yang jelas kita menuntut dikembalikan ke negara melalui balai besar," bebernya.
Sementara, Penasihat Hukum Eko Agus Indrawono, mengaku tuntutan JPU terlalu berlebihan. Sebab, pihaknya berkilah jika yang dikerjakan kliennya selama ini tak lain sesuai perintah pimpinan.
Sehingga atas tuntutan tersebut pihaknya memastikan akan melakukan pleidoi atau pembelaan. Baik dari terdakwa sendiri atau pun dari penasihat hukum. "Tapi, tetap kita kembalikan ke majelis hakim untuk memutus perkara seadil-adilnya," pungkasnya.