Logo

Keserakahan Pemodal Rusak Aset Negara dan Masyarakat

Reporter:

Kamis, 11 December 2025 03:20 UTC

Keserakahan Pemodal Rusak Aset Negara dan Masyarakat

Update data dampak bencana banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar per 10 Desember 2025. Grafis: Hamdan Muafi

JATIMNET.COM - Hujan deras dalam waktu lama melanda Pulau Sumatra bagian utara beberapa jam, Selasa, 25 November 2025. Warga tak menyangka, berkah hujan tersebut juga menimbulkan bahaya dan bencana.

Air sungai meluap hebat. Tak hanya itu, jalan2 di kota dan perkampungan berubah bak sungai dengan arus deras.

Tak hanya air bercampur lumpur, banjir bandang itu juga membawa material pohon dan kayu hasil tebangan.

Bangunan termasuk rumah, tempat ibadah, pertokoan, fasilitas umum, perkantoran tak luput dari terjangan banjir bandang.

Bahkan ada yang sampai hanyut dan rata dengan tanah. Mobil dan truk berukuran besar juga hanyut terbawa arus air yang deras dan bervolume besar karena bercampur lumpur, batu, dan kayu.

Longsor terjadi dimana-mana terutama di wilayah tebing atau perbukitan dan bahkan jalan akibat tergerus banjir bandang.

Hingga Kamis siang, 11 Desember 2025, tercatat korban jiwa akibat bencana ini mencapai 986 jiwa dan 224 jiwa masih hilang. Data tersebut berdasarkan laporan petugas di lapangan dari tiga provinsi yang dilanda bencana, yakni Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat.

Daerah dengan jumlah korban meninggal terbanyak sementara adalah Kabupaten Agam (Sumatra Barat), dengan 183 jiwa, disusul Aceh Utara 154 jiwa, Tapanuli Tengah (Sumatra Utara) 111 jiwa, Tapanuli Selatan (Sumatra Utara) 86 jiwa, dan sebagainya.

Memang penyebab hujan yang ekstrem tersebut akibat badai atau Siklon Senyar yang berada di utara Pulau Sumatra termasuk melanda negara tetangga, seperti Thailand.

Namun, karena ekosistem alam Pulau Sumatra yang sudah tak mampu menampung hujan dengan intensitas tinggi dan lama, maka terjadilah banjir bandang dan longsor.

Menurut catatan Greenpeace Indonesia, eksploitasi hutan di Pulau Sumatra terjadi sejak lama, sejak zaman Orde Baru.

Juru Kampanye Laut Bidang Hukum dan HAM Greenpeace Indonesia, Fildza Nabila, mengatakan tragedi banjir dan longsor yang melumpuhkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat di penghujung tahun ini bukan bencana alam biasa. Ini adalah krisis buatan manusia akibat tata kelola yang buruk dan perusakan lingkungan yang sistematis.

“Ketika ekosistem rusak, kapasitas daerah terbatas, dan pemerintah abai, ratusan jiwa hilang, desa-desa terisolasi, infrastruktur vital lumpuh, dan ratusan ribu orang terpaksa mengungsi, tanpa akses memadai terhadap air bersih, listrik, layanan kesehatan, serta bantuan darurat,” kata Fildza.

Pemerintah telah mengerahkan segala daya upaya dari lintas instansi untuk menanggulangi dampak bencana.

Namun, banyaknya infrastruktur termasuk jalan dan jembatan yang rusak membuat aparat TNI dan Polri maupun petugas penanggulangan bencana kesulitan menyalurkan bantuan dari darat.

Petugas akhirnya menyalurkan bantuan melalui udara dengan helikopter maupun pesawat lain.

Bareskrim Polri juga sedang melakukan penyidikan atas perusakan hutan yang menunjang potensi banjir bandang.

Masyarakat berharap aparat kepolisian profesional dalam menindak orang maupun perusahaan yang terbukti merusak hutan serta menindak aparat pemerintah yang terlibat sebagai beking atau penerima suap dari pembukaan lahan tanpa izin untuk perkebunan, tambang, maupun proyek lainnya.

Sanksi hukum bagi para pelanggar harus diperberat karena telah merenggut hutan sebagai aset negara dan merusak infrastruktur serta rumah sebagai aset masyarakat yang dihuni sejak lama dan dibangun susah payah.