Logo

Jubir Eri-Armuji Sindir Etika dan Kredibilitas Poltracking

Reporter:

Kamis, 10 December 2020 03:00 UTC

Jubir Eri-Armuji Sindir Etika dan Kredibilitas Poltracking

Juru Bicara Tim Pemenangan Eri Cahyadi dan Armuji, Aprizaldi

JATIMNET.COM, Surabaya - Juru Bicara Tim Pemenangan Eri Cahyadi dan Armuji, Aprizaldi, menyindir soal etika dan kredibilitas Poltracking, lembaga survei yang dikenal kerap memenangkan pasangan calon Machfud Arifin dan Mujiaman di Pilkada Kota Surabaya.

Dalam penghitungan cepat (quick count), Aprizaldi menyebut Poltracking mencoba memainkan persepsi publik dengan menyajikan data yang tidak pas.

Kepada media, Aprizaldi menunjukkan tangkapan layar siaran langsung salah satu televisi swasta nasional. Dalam tangkapan layar tersebut, quick count Poltracking menunjukkan Machfud-Mujiaman meraup 60,7 persen, sedangkan Eri-Armuji 39,3 persen. Data yang sudah masuk 62,4 persen.

Tapi kemudian data berubah menjadi 57,41 persen untuk Eri-Armuji, sedangkan Machfud-Mujiaman 42,59 persen; ketika data masuk sudah 96 persen.

BACA JUGA: PDIP Jatim Sebut Sudah Unggul di 11 Daerah

“Penyajian data ini tidak lazim. Ketika data masuk sudah 62 persen, Pak Machfud menang jauh hingga 60 persen. Tapi begitu masuk data 90 persen, posisi suara berubah drastis 180 derajat. Kami tidak tahu ada permainan apa, tapi yang jelas tren data itu jauh dari kelaziman statistik karena lazimnya ketika data masuk lebih dari 60 persen, harusnya sudah mulai stabil,” Aprizaldi, Kamis 10 Desember 2020.

Aprizaldi juga menilai sepanjang Pilkada Kota Surabaya, Poltracking menunjukkan perbedaan signifikan dibanding lembaga survei lain. Bahkan, Poltracking pernah memenangkan Machfud-Mujiaman dengan selisih 17 persen, ketika lembaga survei lain memenangkan Eri-Armudji dengan marjin sekitar 12 persen.

“Kalau soal survei beda, mungkin tidak ada problem berarti. Tapi ketika quick count ada ketidaklaziman, tentu publik bertanya-tanya. Semoga itu hanya soal kesalahan input data, atau hanya kesalahan teknis teknologi informasinya, bukan karena ada keinginan memainkan persepsi publik,” ujar Aprizaldi.