Jumat, 27 September 2019 08:16 UTC
Foto: Tangkapan layar Youtube. Foto: Iman D Nugroho
JATIMNET.COM, Surabaya – Jaringan Anti-Teror Negara menuntut Polda Metro Jaya untuk mencabut status tersangka Dhandy Dwi Laksono atas tuduhan pelanggaran UU ITE. Sebelumnya, sutradara film dokumenter ini ditangkap polisi, Kamis 26 September 2019 malam.
Koordinator Jaringan Anti-Teror Negara Tommy Apriando menyatakan, puluhan lembaga dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam jaringan ini juga mengecam penangkapan sewenang-wenang oleh polisi kepada jurnalis, pegiat HAM, dan musisi Ananda Badudu.
“Polisi harus menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan pekerja kemanusiaan, pembela hukum/pengacara, aktivis pro demokrasi, warga sipil yang menjadi saksi berhak mendapat perlindungan dan tidak dikriminalisasi karena mengemukakan pendapatnya di ruang publik,” ujar Tommy melalui siaran persnya, Jumat 27 September 2019.
BACA JUGA: Pakai UU ITE, Polisi Tetapkan Dandhy Dwi Laksono Sebagai Tersangka
Menurut Tommy, penangkapan secara sewenang-wenang polisi terhadap aktivis Hak Asasi Manusia Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu menunjukkan negara gagal merawat demokrasi karena menyerang kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Tindakan tersebut, kata dia, juga bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang komitmennya dalam menjaga demokrasi.
Dandhy Dwi Laksono, pendiri Watchdoc Documentary dan pegiat HAM, ditangkap polisi di kediamannya pada Kamis 27 September 2019 malam. Dandhy, yang juga pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, ditangkap karena tuduhan ujaran kebencian atas unggahannya di twitter pada 23 September lalu. Ia mengabarkan tentang penembakan yang terjadi di Jayapura dan Wamena.
BACA JUGA: Polisi Tangkap Jurnalis Dandhy Dwi Laksono
Menurut kronologi unggahan YLBHI di twitter, Dandhy ditangkap pada pukul 23.45, sesaat sesudah ia masuk ke rumahnya. Penangkapannya disaksikan oleh dua orang satpam. Ia lantas dibawa ke Polda Metro Jaya dan dicecar oleh 14 pertanyaan dan 45 pertanyaan turunan.
Kendati Dandhy dibolehkan pulang pada subuh tadi, tetapi status tersangkanya tak dicabut. Polisi kukuh menjerat Dandhy dengan Undang-Undang Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 Ayat 2 juncto pasal 45 Ayat 2 UU ITE. Polisi menuding Dandhy menyebarkan informasi yang dapat meimbulkan kebencian dan permusuhan berdasar SARA.
Subuh di hari yang sama, Ananda Badudu, mantan wartawan Tempo dan editor Vice, serta anggota AJI Jakarta juga ditangkap polisi di tempat tinggalnya. Ananda dituduh mengumpulkan donasi dan mentransfernya untuk gerakan mahasiswa pada 23-24 September lalu.
BACA JUGA: Budiman dan Dandhy Laksono Sepakat Penarikan Pasukan Militer di Papua
Sebelum demonstrasi besar-besaran di DPR, Ananda berinisiatif menggalang dana dengan membuat dana crowfunding di kitabisa.com. “Kendati Ananda sudah dilepas pukul 10.30 WIB tadi, tetap saja penangkapan Ananda ini mencederai demokrasi,” kata Tommy.
Tommy juga mengecam tindakan represif aparat dalam menangani unjuk rasa mahasiswa hingga mengakibatkan dua mahasiswa Halu Oleo, Sulawesi Tenggara meninggal. LA Randi tewas setelah dadanya tertembus peluru. Sedangkan Yusuf Kardawi meninggal tadi pagi setelah dirawat di rumah sakit.
“Demonstrasi bagian dari kebebasan masyarakat sipil yang dilindungi konstitusi sehingga negara seharusnya tidak melakulan berbagai tindakan represif,” kata Tommy.
Jaringan Anti-Teror Negara juga mendesak Komnas HAM dan lembaga independen untuk mengusut dan menyelesaikan berbagai kekerasan yang menyebabkan terbunuhnya pelajar dan mahasiswa di sejumlah daerah.