Jumat, 26 July 2019 15:20 UTC
CAPUNG. Jambore Capung III yang digelar di aula kampus Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, Jumat 26 Juli 2019. Foto: Ahmad Suudi
JATIMNET.COM, Banyuwangi - Indonesia Dragon Fly Society (IDS) menggelar Jambore Capung III di aula kampus Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Banyuwangi, 26-27 Juli 2019.
Founder IDS Wahyu Sigit menjelaskan, lembaganya berusaha menyosialisasikan dan memberi edukasi kepada masyarakat terkait dunia capung. Kalangan mahasiswa dan berbagai komunitas dikenalkan pada keragaman capung dan kaitannya dengan lingkungan karena memiliki sensitivitas kondisi alam.
"Kami coba fasilitasi kawan-kawan ini untuk bertemu dan bisa saling memperkuat informasi tentang capung," kata Sigit, Jumat 26 Juli 2019.
BACA JUGA: Banyuwangi Coffee Processing Festival Paparkan Pentingnya Kemasan
Wahyu menjelaskan, berbagai jenis capung memiliki sensitivitas yang berbeda-beda terhadap kondisi lingkungan. Sebagian tergolong sangat sensitif, sensitif, toleran, ada pula yang sangat toleran sehingga mampu hidup di lingkungan kotor sekalipun.
Misalnya Orthetrum Sabina yang berukuran besar dengan loreng hijau hitam di badannya dan kerap ditemukan memangsa capung lain. Yang kadang disebut sebagai capung macan ini dinilai sangat toleran karena bisa hidup di lingkungan kotor seperti air comberan.
Di sisi lain ada, Drepanosticta, salah satu dari kelompok capung jarum, sangat sensitif pada lingkungan hidupnya. Capung yang bisa memakan hama di sela-sela batang padi ini hanya mampu bertahan hidup di lingkungan sehat dan air yang bersih tanpa obat-obatan kimia.
BACA JUGA: Percontohan General Aviation untuk Wisata Dibangun di Banyuwangi
"Area yang ada Drepanosticta lalu rumputnya dibabat untuk pakan kambing, besoknya dicari tidak akan ada lagi," kata Sigit menggambarkan tingkat sensitivitas capung.
Dia mengatakan di antaranya komunitas fotografer, lingkungan, dan akademisi beberapa kampus hadir di jambore itu. Di kampus-kampus juga telah tumbuh kegiatan pembahasan capung seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Brawijaya (UB), Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan lainnya.
Yang spesial pada jambore kali ini, kata Sigit, akan dipaparkan data jumlah capung di Indonesia. Jumlah jenis capung di Indonesia terakhir terpublikasi pada tahun 1954 oleh peneliti asal Belanda.
BACA JUGA: Amalkan Ajaran Fang Sheng, Umat Tridharma Lepas Seribuan Tukik
Saat itu di Indonesia tercatat ada 900 hingga 1.000 jenis capung. Sedangkan setelah identifikasi sejak tahun 2014 oleh IDS, didapati jumlahnya 1.020 jenis.
Sigit mengatakan pendataan capung kurang diminati karena nilai ekonominya yang hampir tidak ada. Padahal pendataan tetap penting mengingat kerusakan alam yang semakin meluas dan sebagian jenis capung sangat sensitif pada kualitas lingkungan.
"Capung sensitif terhadap ketersediaan oksigen, suhu, dan air. Kalau hutan rusak, kualitas air rusak, akan menghambat capung berkembang dengan baik," katanya lagi.
Dengan pendataan yang lembaganya lakukan bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sigit berharap mulai teridentifikasi, bila ada jenis yang langka. Pasalnya selain kepentingan untuk ilmu pengetahuan, sebagian jenis capung bisa memberikan informasi baik atau buruknya lingkungan wilayah tertentu.