Rabu, 23 January 2019 09:49 UTC

Mahkamah Konstitusi
JATIMNET.COM, Surabaya - Seorang ibu rumah tangga asal Surabaya, Nur Ana Apfianti mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Nur Ana merasa undang-undang itu membatasi warga negara untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik.
Dilansir dari www.mkri.id, sidang pemeriksaan pendahuluan uji materiil digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 22 Januari 2019. Dalam sidang yang teregistrasi dengan Nomor 7/PUU-XVII/2019 itu, pemohon diwakili kuasa hukumnya Muhammad Sholeh dan rekan.
Sholeh menjabarkan Pemohon merasa dirugikan hak konstitusionalnya, dalam hal ini perlindungan hukum. Pemohon tidak dapat menentukan sendiri asuransi kesehatan yang tepat bagi dirinya.
Apalagi jika tidak terdaftar sebagai peserta BPJS maka akan mendapat sanksi dalam bentuk tidak mendapatkan pelayanan publik tertentu.
"BPJS yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang mengatur sistem jaminan sosial nasional terbagi menjadi dua yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan," ungkap Muhammad Sholeh kepada Panel Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
BACA JUGA: Peserta BPJS Kesehatan hanya Bisa Naik Kelas Satu Tingkat
Lewat kuasa hukumnya, Apfianti menguji Pasal 14 UU BPJS yang mewajibkan seluruh orang menjadi peserta BPJS. Meski mewajibkan, BPJS Kesehatan menerapkan rujukan berjenjang dan membatasi obat-obatan yang ditanggung BPJS. Hal ini berbeda dengan asuransi swasta yang membebaskan pesertanya untuk mendapatkan layanan kesehatan sesuai keinginan.
"Pemohon tidak bisa memahami alasan Pembentuk Undang-Undang mewajibkan seluruh warga negara harus ikut program BPJS Kesehatan. Seharusnya negara tidak perlu memaksa-maksa warga untuk ikut BPJS Kesehatan," kata Sholeh.
Dalam gugatannya ibu rumah tangga itu juga menyebutkan Pasal 34 ayat (3) UUD 1945. Pasal itu menyatakan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak.
Menurutnya selama ini masyarakat sudah menjalankan kewajiban untuk membayar pajak. Negara bisa menggunakan pajak untuk membangun sarana publik, salah satunya fasilitas kesehatan.
Sehingga ia merasa aneh karena warga negara sudah membayar pajak namun harus membayar iuran kesehatan lagi.
BACA JUGA: BPJS Kesehatan Jatim Berhutang Rp 1,3 Triliun
Sementara dalam tanggapan atas dalil Pemohon, Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menilai kerugian yang disampaikan merupakan kerugian ekonomi.
“Tapi apakah kerugian ekonomi itu merupakan kerugian konstitusional Pemohon? Nah itulah sebenarnya yang harus Saudara elaborasi. Dengan adanya pasal yang Saudara uji, hak konstitusional yang mana yang merugikan Saudara Pemohon. Itu yang belum tampak dalam permohonan. Saudara hanya menjelaskan peristiwa konkretnya,” tegas Palguna.
Sedangkan Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyoroti pasal yang diuji Pemohon terkait kepesertaan BPJS bagi orang asing yang bekerja di Indonesia. Sementara BPJS muncul untuk melayani warga negara Indonesia. “Maka untuk menjelaskan soal orang asing ini, Pemohon dapat lebih mengelaborasi argumentasi Pemohon dan harus diperkuat lagi teori-teori hukum yang lebih banyak,” kata Manahan.
Terkait petitum Pemohon agar pasal yang diuji tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, Manahan menyarankan Pemohon untuk mencari alternatif lain agar pasal itu tidak dihilangkan. Sebab Pasal 14 UU No. 24/2011 merupakan norma dasar dan tidak perlu dihilangkan.
