Logo

Haruskah Kemendikbud Belajar ke Indomaret-Alfamart untuk Mempersiapkan PPDB 2020?

Bisa-bisa nasib pendidikan nasional mirip warung dan toko di kampung.
Reporter:

Sabtu, 22 June 2019 00:57 UTC

Haruskah Kemendikbud Belajar ke Indomaret-Alfamart untuk Mempersiapkan PPDB 2020?

Ilustrasi Ali Yani.

MASA Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) seharusnya menjadi masa yang menyenangkan. Karena di sanalah tergantung harapan siswa menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Nyatanya anggapan itu tak sepenuhnya benar. Sistem zonasi, yang dibuat untuk mendekatkan sekolah dengan rumah, juga kesetaraan akses pendidikan, malah mempersulit siswa menentukan sekolah.  

Di Sidoarjo, seorang warga Pepelegi mengeluhkan anaknya yang baru lulus SMP tak bisa masuk sekolah negeri. Menurut dia, SMA Negeri terdekat dari rumahnya adalah SMAN 1 Waru dan SMAN 1 Gedangan. Sayangnya, kedua sekolah telah terisi oleh calon siswa yang rumahnya lebih dekat dengan sekolah.

Sementara di Surabaya, ratusan ibu-ibu ngeluruk kantor Dinas Pendidikan Kota di Jalan Jagir pada Rabu, 19 Juni 2019. Mereka menilai penerapan zonasi tak sesuai dengan jarak sekolah dan rumah siswa. Bahkan, siswa tak diterima masuk sekolah dekat rumah padahal ada siswa lain yang rumahnya lebih jauh lolos pendaftaran.

Andai saja kualitas semua sekolah setara, peristiwa semacam itu mungkin tak perlu terjadi.

Selama ini, kita mengenal ada sekolah yang diunggulkan dan tidak. Kesenjangan di antara keduanya tinggi. Kebanyakan wali murid menginginkan anaknya masuk sekolah unggulan. Tak peduli jaraknya jauh-bahkan kalau perlu indekos di dekat sekolah-hingga mengeluarkan uang lebih.

Cukup beralasan jika orang tua ngebet anaknya bersekolah di sana. Sarana dan fasilitasnya lengkap, gurunya pun dianggap lebih mumpuni. Belum lagi jika sekolah itu langganan menjuarai pelbagai kompetisi pelajar, ini bisa jadi semacam “jaminan mutu” lulusannya.

Sebaliknya, sekolah yang tak diunggulkan sepi peminat. Kegiatan belajar-mengajar tak bergairah, guru-guru kurang termotivasi meningkatkan kompetensi diri. Dampaknya, kualitas pendidikan di sekolah ini pun begitu-begitu saja.

Jadinya, seperti syair Bang Haji Rhoma, yang pintar tambah berprestasi. Yang kurang pintar tambah terdiskriminasi. Kondisi pendidikan semacam itu menghasilkan ruang kelas homogen. Atau bahkan parahnya, memperbesar peluang praktik jual beli “bangku” sekolah unggulan.

Melalui sistem zonasi, yang diatur dalam Permendikbud nomor 51 tahun 2018, pemerintah berniat mengatasi persoalan pendidikan ini. Nilai hasil ujian bukan syarat utama bagi siswa mendaftar di jenjang sekolah yang lebih tinggi. Sekolah untuk calon siswa ditentukan berdasarkan jarak dari rumahnya, bukan status favorit sekolah atau tidak.

Jujur saja, ini tujuan yang ideal. Tapi sayangnya, tak semua sekolah berkualitas ideal.

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud mencatat pada 2017, hanya 70 persen sekolah di Indonesia yang memenuhi standar pelayanan minimal. Kendala utamanya sarana-prasarana sekolah dan kompetensi guru masih jauh panggang dari api.

Untuk menjamin mutu pendidikan, ada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Badan Standar Nasional Pendidikan merumuskan 8 kriteria “jaminan mutu pendidikan”. Yakni meliputi isi, kompetensi lulusan, proses pendidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiyaan pendidikan, penilaian pendidikan, serta profesionalitas pendidik dan tenaga kependidikan.

Ibarat swalayan, SNP ini indikator jaminan produk. Di mana pun gerai berdiri, kualitas dan harga “barang dagangan” yang ditawarkan pada konsumen sama.

Kita tentu tak asing dengan duo-minimarket, Indomaret dan Alfamart. Jangankan jaminan barang dan kepastian harga, susunan rak dan isinya pun dipastikan sama. Mau di desa atau di kota tak ada beda.

Pertanyaannya kini, apakah mutu pendidikan semua sekolah setara? Jika belum, mungkin ada baiknya kementerian belajar pada Indomaret dan Alfamart. Jangan sampai nasib pendidikan nasional kita mirip warung kelontong dan toko kampung.