Rabu, 06 August 2025 02:00 UTC
Bendera One Piece yang sempat berkibar di Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban. Sumber: media sosial
Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia, sebuah fenomena unik mencuat ke permukaan. Di berbagai daerah, ramai warga memasang bendera Jolly Roger, simbol yang identik dengan kelompok bajak laut Monkey D. Luffy dari anime dan manga One Piece. Di Kabupaten Tuban, Jawa Timur, bendera berlatarbelakang hitam itu bahkan sampai disita aparat penegak hukum.
Rerata, bendera itu berkibar berdampingan (di bawah) bendera Merah Putih. Tak ayal, aksi ini menuai reaksi beragam, mulai dari teguran aparat hingga wacana pelanggaran Undang-Undang tentang Simbol Negara.
Namun, jika ditelaah lebih dalam dari sudut pandang ilmu komunikasi, khususnya pendekatan semiotika, pengibaran bendera One Piece sejatinya menyimpan makna yang lebih kompleks dari sekadar bentuk pelanggaran simbolis. Lebih dari itu, ia adalah bagian dari ekspresi sosial dan budaya generasi muda hari ini yang tak bisa dipahami hanya dalam kerangka hukum formal belaka.
Makna Bukan dari Tanda, Tapi dari Manusia
Dalam jurnal ilmiah Al Fikrah berjudul "Semiotika Komunikasi sebagai Satu Pendekatan Memahami Makna dalam Komunikasi" oleh Saiful Bahri (2022), ditegaskan bahwa simbol atau tanda tak memiliki makna yang tetap.
Sebaliknya, makna dibentuk melalui interaksi sosial, budaya, dan pengalaman kolektif masyarakat. Dalam teori semiotika yang dikembangkan Charles Sanders Peirce, tanda (sign) terbagi menjadi tiga: ikon, indeks, dan simbol.
Bendera Jolly Roger dalam konteks ini adalah simbol. Ia tidak merepresentasikan satu makna tunggal, melainkan harus diinterpretasi berdasarkan pengalaman sosial dan kesepakatan makna dalam komunitas.
Bagi sebagian anak muda, Jolly Roger bukanlah lambang bajak laut dalam arti kriminal, melainkan representasi dari nilai-nilai kebebasan, solidaritas, dan perlawanan terhadap ketidakadilan terhadap Tenryubito (Pemerintah Dunia) yang diceritakan dalam One Piece. Ia adalah kritik yang dibalut dalam bentuk simbol budaya populer.
Dengan kata lain, simbol bukanlah sekadar benda visual yang statis. Dalam semiotika, simbol memerlukan proses pemaknaan. Salib, misalnya, bukan hanya tanda agama Kristen, tapi lambang pengorbanan Kristus.
Demikian pula bendera Jolly Roger, ia bukan hanya tengkorak dan topi jerami, tapi perwujudan dari ideologi antiotoritarian dan perlawanan terhadap korupsi, ketimpangan, dan ketidakadilan sosial. Yang kebetulan isunya juga relevan dengan konteks Indonesia kini.
Penanda dan Petanda
Ferdinand de Saussure, pelopor pendekatan semiologi dari mazhab Eropa menyatakan bahwa tanda (sign) terdiri atas dua elemen utama: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk fisik dari tanda (misalnya gambar tengkorak dan topi jerami), sedangkan petanda adalah konsep atau makna yang ditimbulkan oleh penanda tersebut dalam benak kita.
Dalam kasus bendera One Piece, penandanya adalah gambar Jolly Roger itu sendiri. Namun, petandanya bisa sangat beragam, tergantung konteks dan penafsirannya.
Bagi para penggemar, petanda dari Jolly Roger bukanlah bajak laut yang merampok dan membunuh, melainkan tokoh yang melawan penindasan, memperjuangkan teman, dan mencari keadilan.
Artinya, makna simbol ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang budaya pop, pengalaman menonton, dan keterlibatan emosional para pemakainya.
Saussure menekankan bahwa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer--tidak alami, tapi disepakati secara sosial. Maka, ketika masyarakat (utamanya anak muda) menyepakati bahwa bendera One Piece adalah simbol kritik atau perlawanan yang sah, kita tak bisa menolaknya semata-mata karena bentuk fisiknya menyerupai simbol bajak laut. Maknanya telah berubah karena relasi sosial dan budaya yang melingkupinya.
Sebab, generasi muda hari ini tumbuh dengan bahasa visual dan simbolik dari budaya pop. Anime, film, meme, dan musik menjadi bagian dari sistem tanda yang mereka gunakan untuk mengekspresikan diri.
Saat mereka memilih Jolly Roger sebagai simbol, itu bukan karena tak menghargai merah putih, melainkan karena mereka ingin menyampaikan sesuatu yang tak tertampung oleh simbol-simbol formal negara.
Lebih lanjut, Saiful Bahri dalam jurnalnya menekankan kita tidak bisa tidak berkomunikasi. Artinya, setiap ekspresi adalah bentuk komunikasi yang mengandung pesan. Simbol yang digunakan pun tak bisa dilepaskan dari konteks sosialnya. Termasuk bendera One Piece menjadi bagian dari kritik sosial yang disampaikan dengan cara yang akrab dan relevan bagi generasi pembawanya.
Antara Nasionalisme dan Kritik
Penting untuk dipahami bahwa nasionalisme sejati bukanlah soal bendera mana yang dikibarkan, tapi lebih krusial dari itu, yakni soal bagaimana masyarakat terlibat dan peduli terhadap nasib bangsa dan manusianya.
Seperti Nasionalisme Soekarno dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I, "Nasionalis yang sejati, yang nasionalismenya itu bukan timbul semata-mata suatu tiruan dari nasionalisme barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan."
Dalam konteks ini, para pengibar bendera One Piece justru menunjukkan keterlibatan emosional dan sosial terhadap kondisi bangsa. Mereka menyampaikan keresahan lewat cara mereka sendiri untuk merepresentasikan kekecewaannya. Dan perlu dipertegas, ini bukan bentuk penolakan terhadap Indonesia, melainkan bentuk cinta.
Dalam semiotika, simbol selalu terkait dengan sistem makna yang dibangun dalam budaya. Ketika anak muda mengibarkan Jolly Roger di momentum kemerdekaan, idealnya pemangku kebijakan berefleksi: apa yang ingin mereka (anak muda) katakan? Apa yang ingin mereka lawan?
Mungkin, ini adalah bentuk sindiran terhadap yang korup, sistem yang menindas, atau absurditas dalam kehidupan bernegara. Bukan resah dan malah dianggap sebagai pemecah belah bangsa.
Jika pemerintah dan masyarakat umum hanya merespons fenomena ini dengan pendekatan hukum dan moral sempit, maka mereka kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan generasi yang sedang mencari cara berkomunikasi baru.
Sebab, seperti disampaikan dalam jurnal itu, simbol-simbol komunikasi adalah bagian dari dinamika budaya, bukan entitas beku yang bisa dihakimi tanpa konteks.
Belajar dari Simbol
Fenomena pengibaran bendera One Piece bukanlah bentuk pengkhianatan terhadap negara, tapi ekspresi kebudayaan yang perlu dibaca secara semiotik. Ia adalah simbol kritik. Alih-alih dimusuhi, semestinya dijadikan bahan refleksi kolektif.
Apakah negara ini sudah cukup adil? Apakah anak muda merasa memiliki ruang untuk didengar? Ataukah mereka harus terus berteriak lewat simbol-simbol fiksi supaya didengar?
Dengan memahami pendekatan semiotika, kita bisa belajar bahwa makna bukan ditentukan oleh bentuk, melainkan oleh interpretasi dan relasi sosial yang melingkupinya.
Maka, mari bijak membaca simbol. Jangan buru-buru mencap pengibaran Jolly Roger sebagai penodaan. Bisa jadi, itu adalah bentuk nasionalisme paling jujur dari generasi yang sedang mencari identitas dan makna.
Bendera Merah Putih tetap dikibarkan. Tapi di bawahnya, berkibar pula suara anak muda yang ingin mengatakan sesuatu.