Minggu, 30 March 2025 01:00 UTC
Warga dan santri Pondok Pesantren Mahfilud Dluror, Desa Suger, Kecamatan Jelbuk, Jember berlebaran hari ini. Foto: Faizin Adi
JATIMNET.COM, Jember – Pondok Pesantren Mahfilud Dluror yang ada di Desa Suger, Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember menggelar salat Idulfitri berjemaah 1446 Hijriah, hari ini, Minggu, 30 Maret 2025.
Pelaksanaan ibadah sunah itu sehari lebih awal dengan ketetapan pemerintah. Berdasarkan hasil sidang isbat yang digelar di Kemenag RI di Jakarta, Sabtu kemarin, 1 Syawal 1446 Hijriah jatuh pada Senin besok, 31 Maret 2025.
Meski berlebaran lebih awal sehari, jumlah puasa yang dijalani pesantren ini tetap 30 hari, seperti halnya lebaran versi pemerintah.
Sebab, Pondok Pesantren Mahfilud Dluror menetapkan awal puasa atau 1 Ramadan pada 28 Februari 2025 atau sehari lebih awal dari versi pemerintah.
BACA: Libur Lebaran, Khofifah Tekankan Keamanan dan Kenyaman Wisata Jatim
Penetapan tersebut, tidak hanya diikuti oleh santri dan juga warga yang ada di Desa Suger, Jember. Sejumlah desa di Kecamatan Maesan, Bondowoso yang berbatasan langsung dengan Desa Suger, Jember juga mengikutinya.
Penetapan awal puasa, Idulfitri maupun Iduladha yang berbeda dengan versi pemerintah, bukan hal baru bagi santri dan masyarakat di sekitar Pondok Pesantren Mahfilud Dluror.
Menurut KH Ali Wafa, pemimpin pesantren, pihaknya memiliki dasar perhitungan tersendiri dalam menetapkan awal puasa dan Lebaran.
BACA: Deteksi Uang Palsu saat Lebaran, Polres Lamongan Sisir Tempat Penukaran Uang Baru
Perhitungan (hisab) yang merujuk pada kitab Najhatul Majalis, karya Syaikh Abdurrahman As-Sufuri Asy-Syafii yang diterapkan pesantren Mahfilud Dluror biasa disebut sebagai sistem Khumasi.
“Di pesantren ini, insyaallah sudah dilakukan sejak tahun 1911, saat pesantren ini didirikan oleh kakek saya, KH Muhammad Sholeh. Beliau berguru kepada KH Abdul Hamid Misbat, dari Pondok Pesantren Banyuanyar, Madura,” tutur Ali Wafa.
Kata Khumasi yang dalam bahasa Indonesia berarti lima, merujuk pada cara menetapkan awal puasa dan lebaran selisih lima hari dari penetapan tahun sebelumnya.
Sistem ini dikemukakan oleh Imam Ja’far Ash-Shodiq, salah satu keturunan Nabi Muhamamd SAW. “Kitab Najhatul Majalis ini setebal 246 halaman, isinya berbagai hal seputar fiqh (hukum Islam), tak hanya soal awal puasa dan lebaran,” jelas KH Ali Wafa.
Karena menggunakan perhitungan tanpa melihat bulan (rukyatul hilal), KH Ali Wafa sudah dapat menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal sejak lama.
“Saya biasa berijtihad untuk menghitung penetapan awal puasa dan Syawal untuk jangka waktu 8 tahun,” tutur pria yang juga akrab disapa Lora Ali. Lora merupakan panggilan kehormatan dalam masyarakat Madura untuk menyapa putra kiai atau tokoh agama.
BACA: Sambut Wisatawan Saat Libur Lebaran, Banyuwangi Siapkan Beragam Atraksi Budaya
Diakuinya, tidak setiap tahun perhitungannya berbeda dengan pemerintah. Adakalanya sama. Namun jika berbeda, pasti mendahului sehari.
“Dalam lima tahun, ada setidaknya 2 hingga 3 kali lebaran yang sama,” tutur KH Ali Wafa.
Meski kerap berbeda, masyarakat setempat tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang luar biasa. Mereka bahkan sudah terbiasa bertoleransi, jika dalam setahun ada dua versi awal puasa atau Lebaran dalam satu masyarakat desa.
Toleransi itu juga diterapkan di lingkungan keluarga sang kyai. “Tahun lalu, kita kan berbeda juga. Anak saya laki-laki yang nomor empat, ikut versi pemerintah. Jadi kita hari raya, dia masih puasa, seperti Anda ini,” papar KH Ali Wafa.
Perbedaan itu karena pada awal puasa, sang anak masih berada di Gresik untuk menuntut ilmu. Saat itu, sang anak mengikuti awal puasa yang ditetapkan oleh pemerintah.
“Kalau dia ikut versi kami, maka puasanya jadi cuma 28 hari. Itu tidak sah secara keseluruhan puasanya,” tutur KH Ali Wafa.
BACA: Pelayanan 24 Jam, Ribuan Nakes Banyuwangi Siaga Selama Libur Lebaran
Seperti halnya aturan fiqh yang disepakati para ulama, hanya ada dua kemungkinan jumlah hari dalam bulan Ramadan seperti yang ditentukan dalam hadis. Yakni 29 hari atau 30 hari, tidak lebih dan tidak kurang.
KH Ali Wafa sendiri merupakan alumnus Pondok Pesantren Bata-bata yang ada di Pamekasan, Madura. Sebuah pesantren yang identik dengan nahdliyyin, sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga masih berkerabat dengan sejumlah kiai NU yang ada di Jember bagian utara.
“Dengan Kyai Muqit (KH A Muqiet Arief, mantan Wabup Jember, pengasuh Pondok Pesantren Al Falah, Silo), masih paman,” pungkas KH Ali Wafa.
