Logo

Gandrung Sewu 2019, Kemelut Pasca Puputan Bayu yang Membunuh Mas Alit

Reporter:,Editor:

Sabtu, 12 October 2019 09:52 UTC

Gandrung Sewu 2019, Kemelut Pasca Puputan Bayu yang Membunuh Mas Alit

SEGERA TAMPIL. Peserta Gandrung Sewu menunggu saat tampil di area Pantai Boom Banyuwangi, Sabtu 12 Oktober 2019. Foto: Ahmad Suudi

JATIMNET.COM, Banyuwangi - Langit kelam tertutup awan seakan mewakili kegundahan yang dirasakan Mas Alit, Bupati Banyuwangi. Angin yang berhembus tak mampu menggiring mendung. Mas Alit resah tentang tingkah bangsa asing yang hendak menjajah.

Begitu narasi yang dibaca Sejarawan dan Penyair Banyuwangi Abdullah Fauzi, dalam latihan keempat, gelaran Gandrung Sewu, di Stadion Diponegoro, Banyuwangi, Selasa 8 Oktober 2019 lalu. Sementara pemeran pasukan berlari ke tengah lapangan diiringi 75 orang panjak yang duduk di atas rumput memainkan musik tradisional.

Dalam segmen yang lain belasan laki-laki memanggul gandrung cilik maju dan menurunkan mereka di barisan terdepan. Diselingi tari dan gending gandrung cilik, pasukan bermaksud berpamitan pada keluarga untuk menyerang Mas Alit.

Hasan Ali dalam Sekilas Perang Puputan Bayu (2002), menuliskan Perang Puputan Bayu adalah perang habis-habisan masyarakat Banyuwangi yang dipimpin Rempeg Jagapati melawan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) Belanda dan bala bantuannya.

BACA JUGA: Mengintip Keseruan Persiapan Festival Gandrung Sewu 2019

Dalam perang tersebut yang berlangsung pada tahun 1771 itu, VOC mendatangkan pasukan dari Batavia, Jawa Tengah, dan bantuan pasukan dari adipati yang sudah ditaklukkannya di pesisir utara Jawa Timur dan Madura. Tahun itu kemudian ditetapkan sebagai tahun berdirinya Banyuwangi.

Dituliskan juga bahwa Mas Alit adalah Bupati Banyuwangi yang dilantik VOC dengan resolusi tanggal 7 Desember 1773. Dia kemudian memindahkan ibu kota kabupaten dari Kuto Lateng yang kini berada di Kecamatan Rogojampi, ke Kecamatan Banyuwangi seperti yang sekarang.

Kepada Jatimnet, Fauzi mengatakan Panji-Panji Sunangkara yang menjadi tema Gandrung Sewu 2019 adalah panji perang berupa kepala serigala melolong. Panji Sunangkara digunakan pasukan Rempeg dalam medan tempur Puputan Bayu.

"Lambang itu untuk menciptakan suasana mencekam dan menciutkan nyali musuh. Sekarang juga biasa digunakan di awal film horor untuk menciptakan suasana mencekam," kata Fauzi, Kamis 10 Oktober 2019.

BACA JUGA: Melihat Anak-anak Menari Gandrung di Tepi Sawah

Namun kisah yang diangkat kali ini bukan Perang Puputan Bayu, melainkan matinya Mas Alit di laut utara Gresik. Hasan Ali juga menulis bahwa sebelum Mas Alit, beberapa bupati yang dianggap memihak pejuang Banyuwangi ditangkap dan diasingkan oleh VOC.

Berbeda dengan Mas Alit yang dianggap memihak VOC oleh pejuang bekas pasukan Rempeg. Apalagi Mas Alit naik kapal laut berbendera Belanda menuju Semarang untuk memenuhi undangan penguasa pantai utara dari VOC.

Sebagian pasukan Rempeg, setelah Puputan Bayu, tetap melawan dengan merompak kapal-kapal laut berbendera Belanda di laut. Mendengar Mas Alit akan bertemu pejabat VOC membuat mereka geram dan merencanakan penyerangan.

"VOC tahu bekas pasukan Rempeg selalu menyerang kapal laut berbendera Belanda. Mereka diadu domba," kata Fauzi.

BACA JUGA: Sesepuh Gandrung Reuni, Sebut Generasi Sekarang Gandrung-gandrungan

Kapal yang membawa Mas Alit dan bekas pasukan Rempeg betul-betul bertemu dan berperang di laut utara Gresik tahun 1782. Mas Alit terbunuh, padahal secara diam-diam dirinya mendukung pejuang Banyuwangi merdeka dari Belanda.

Fauzi mengatakan jasad Mas Alit tenggelam di laut, yang kembali ke Banyuwangi hanya baju kebesarannya. Penyerahan replika baju kebesaran Mas Alit kepada Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, menjadi bagian adegan penutup Gandrung Sewu 2019.

Dia juga mengatakan Belanda dalam catatan sejarahnya menulis Mas Alit tewas dibunuh perompak di laut. Padahal dari sudut pandang warga Banyuwangi, penyerangan kapal-kapal berbendera Belanda dilakukan pejuang Banyuwangi, bukan perompak.

"Pejuang-pejuang ini sudah berpamitan pada keluarga dan minta diikhlaskan bila tak kembali, mereka justru sedang mempertahankan tanahnya," pungkas Fauzi yang

BACA JUGA:  Ratusan Pelajar Bawakan Tari Glipang Asli Probolinggo 

Sutradara dan Koreografer Gandrung Sewu 2019 Dwi Agus Cahyono mengatakan dalam 45 menit, 30 persen diisi pertunjukan lakon. Di sisa waktu penonton disuguhi tari Gandrung klasik yang dibawakan 1.354 orang remaja hasil seleksi pelajar sejak Juli lalu.

Di antara tarian klasik yang dibawakan yakni Jejer Jaran Dawuk dan Seblang Lukinto. Beberapa gending yang jarang muncul juga akan dibawakan misalnya yang berjudul Ukir Kawin dan Opak Apem.

Aransemen musik dan gerak tari, agar mendapatkan bentuk klasiknya disusun dengan arahan Gandrung Supinah. Sulitnya musik dan tari klasik menambah deretan tantangan bagi para seniman muda yang baru mengenalnya.

"Idealnya 10 kali latihan, kami hanya 4 kali. Apalagi dengan kemampuan penari yang bisa dibilang minim," kata Dwi.

Saat tulisan ini dibuat, Pantai Boom telah ramai pengunjung yang akan menonton pertunjukan kolosal ke 9 ini, Sabtu 12 Oktober 2019. Menanti apa yang akan nampak, dari proses sejak Juli hingga gladi resik kemarin, oleh seniman muda Banyuwangi.