Dyah Ayu Pitaloka

Minggu, 10 Februari 2019 - 08:07

ALEPPO serupa kota hantu. Jalanan sepi. Gedung-gedung hancur. Rumah-rumah suwung ditinggalkan penghuni. Seperti kota lain di Suriah, kota kuno yang dihuni manusia sejak abad ke-6 sebelum masehi itu porak-poranda tercabik perang saudara bertahun-tahun.

November 2018, perang belum sepenuhnya berakhir di Aleppo. Rentetan tembakan masih menyalak dari sudut-sudut kota. Bom meledak, suaranya menggelegar hingga ke dalam rumah. Termasuk pada bangunan berlantai dua di Alneel Street di kawasan Saida Aysha Jame’e.

Satu keluarga penduduk lokal tinggal di lantai bawah gedung. Sedangkan lantai atas, difungsikan sebagai kantor penyedia jasa asisten rumah tangga, Easy Service Center. Di tempat itu pula para pekerja ditampung sebelum mendapat majikan. Seluruhnya perempuan. Ada sembilan orang, enam di antaranya asal Indonesia.

Ada beberapa kamar, serta sebuah kamar mandi dan dapur di sana. Sembilan perempuan itu menghuni salah satu kamar. Jendela selalu tertutup rapat, teralis terpasang di kusen. Pintu tak tiap hari dibuka. Hanya sesekali ketika calon majikan datang, para pekerja diminta keluar. Mereka berbaris, berjajar, dan menanti majikan memilih. Jika tak terpilih, ya sudah, pengelola kembali mengurung mereka ke dalam ruangan.

BACA JUGA: Bisa Pergi Susah Kembali

Suram oleh perang, Suriah pada November adalah negara bercuaca dingin. Di Damaskus suhu udara terendah bisa mencapai 3 derajat celsius. Sementara di Aleppo, “Bisa sampai 4 derajat (celsius),” kata Yanti, satu di antara enam perempuan asal Indonesia itu.

Kamar gelap dan dingin. Cahaya dari luar tak mampu menembus dinding sedangkan udara leluasa menyusup hingga ke dalam ruangan. Lampu dan penghangat ruangan memang ada. Tapi listrik byar pet. Sejam menyala, tiga jam padam. Bahkan pernah listrik mati berhari-hari. Di tengah perang, listrik adalah barang mewah. Jaringannya terputus di mana-mana.

Hidup di tengah peperangan dan cuaca dingin sudah cukup menakutkan. Tapi penderitaan perempuan itu tak berhenti di sana. Hampir tiap hari, mereka mendapat siksaan dari pengelola penampungan.

Para pekerja migran asal Indonesia-juga negara lain-, biasa disekap di kamar mandi dan diancam tak diberi makan. Selama menanti datangnya calon majikan, mereka juga dipekerjakan oleh pengelola penampungan tanpa gaji dan sering dicaci maki.

BACA JUGA: Kisah Resah di Suriah

Yanti mengisahkan nasib Suntina, perempuan berusia 50 tahun asal Desa Kademangan Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang, rekan kerja sepenampungan. Kakinya bengkak setelah terjatuh dari tangga saat bekerja di rumah seorang pengelola penampungan. Alih-alih diobati, Suntina dipaksa terus bekerja. Padahal berjalan pun ia tak sanggup.

Sang majikan menuding Suntina berbohong. Ia dikurung di kamar mandi dan diancam dibunuh jika terus mengeluhkan sakitnya. “Kasihan, beberapa hari kemudian ia dikembalikan (ke penampungan),” kata Yanti.

Yanti berasal dari Dusun Gumuk Mas Desa Karangsari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang. Rumahnya berjarak sekitar 13 kilometer dari desa Suntina. Akhir Desember 2018 lalu, ia berhasil pulang, membawa pesan dari Suntina dan perempuan lain di penampungan untuk keluarga di kampung halaman.

Jatimnet.com menemui Yanti di rumahnya pada Selasa 29 Januari 2019. “Aku masih trauma kalau ingat (hidup di penampungan),” katanya.

JALAN BERBATU. Seorang pengendara sepeda motor melintas di jalan Desa Karangsari Kecamatan Bantur Kabupaten Malang. Yanti, buruh migran asal desa itu, dijanjikan kerja di Dubai, UEA tapi berakhir di penampungan di Aleppo, Suriah. Foto: Dyah Ayu.

Empat bulan sebelumnya.  

Suatu hari di pengujung September 2018. Di depan sebuah kantor biro perjalanan di Kepanjen Kabupaten Malang, delapan perempuan meriung menanti bus jurusan Jakarta. Yanti salah satunya.

BACA JUGA: Susah Pulang Buruh Migran Malang

Perempuan beranak satu itu tak pernah tahu secara pasti berapa usianya. Di paspor terbarunya, diterbitkan Kantor Imigrasi Blitar pada 15 Agustus 2018, tanggal kelahirannya tercatat 13 November 1979. Tapi di paspor lawas, yang diterbitkan Kedutaan Indonesia di Kuwait pada 2005, Yanti tertulis lahir 1 Januari 1967.

Desa Karangsari, tempat tinggal Yanti, terletak di Malang bagian selatan. Desa seluas 2.278 hektare itu terbagi dalam tiga dusun; Krajan, Gebang, dan Gumuk Mas. Dihuni 8.312 jiwa pada 2016, 80 persen penduduknya buta huruf. Sementara sisanya, hanya bersekolah hingga SD.

Bagi Yanti, yang tak pernah tamat bersekolah dasar-pendidikan terakhirnya kelas 3 SD-, beda tanggal kelahiran tak berarti apa-apa. Asal bisa bekerja, dapat duit untuk membantu meringankan beban keluarga, hidupnya serasa purna. “Ibu lupa kapan aku lahir,” katanya.

Satu-satunya cara yang ia tahu untuk mendapatkan uang adalah jadi buruh migran. Belasan tahun lalu, ia pernah bekerja di Kuwait selama tiga tahun. Sebelumnya, ia juga pernah bekerja di Arab Saudi selama empat tahun.

Kini, ia ingin kembali ke bekerja ke Timur Tengah. Beberapa bulan sebelumnya, seorang tetangga menawari Yanti kerja ke Dubai, Uni Emirat Arab.

Jika mau, Yanti tak perlu repot mengeluarkan biaya. Agen pemberangkatan, biasa disebut sponsor, bersedia menanggung ongkos pengurusan paspor, perjalanan, bahkan uang saku Rp 6,5 juta.

SAMA ORANG BEDA DATA. Dua paspor milik Yanti, buruh migran asal Karangsari, Bantur Kabupaten Malang. Nama dan identitas kelahirannya berbeda. Foto: Dyah Ayu/diolah.

Meski tak pernah ada perjanjian kerja yang jelas, tentang di mana bekerja dan berapa honor per bulan yang didapat, Yanti akhirnya mengiyakan tawaran itu. Sebelum berangkat, uang Rp 6,5 juta dari sponsor ia berikan ke suami dan ibunya. Sebagai bekal hidup sehari-hari di rumah, katanya beralasan. “Yang penting nanti kerja di Dubai,” katanya.

Selain Yanti, dalam rombongan menuju Dubai itu ada Nur Kholilah, warga Sumbermanjing, dan Suntina, warga Pagelaran. Setelah tiba di Jakarta dengan jalur darat, mereka menginap semalam sebelum terbang ke negara tujuan, Uni Emirat Arab.

29 September 2019. Yanti dan rombongan tiba di Dubai. Di sana, ia tinggal di penampungan Al Jawal Manpower Supplier Services yang dikelola Kamsiah.

Yanti tak paham latar belakang Kamsiah. Yang ia tahu, Kamsiah perempuan yang mahir berbahasa Indonesia. Dan, “Ia suka marah-marah, suka mukulin orang. Aku dipukul di sini,” kata Yanti sembari memperlihatkan pundak kanannya.

Sembari menanti majikan datang mempekerjakan mereka, pekerja migran bekerja di tempat penampungan tanpa gaji. Mereka membersihkan kantor, memasak, dan mengerjakan perintah Kamsiah.

Beberapa pekan setiba di Dubai, Suntina mendapat majikan. Sementara sampai sebulan, Yanti dan Nur Kholilah masih tinggal di penampungan. Hingga akhirnya, Kamsiah menawari mereka bekerja di Aleppo. Tak ada pilihan, kedua perempuan asal Malang itu pergi ke Suriah.

JEJAK DERITA. Dua kartu nama milik pengelola penampungan di Uni Emirat Arab dan tempat penampungan di Suriah. Foto: diolah.

10 November 2018. Mereka pergi meninggalkan Dubai. Dari sini, cerita penampungan Aleppo bermula.

Penampungan Aleppo, seolah jadi pemberhentian terakhir pekerja migran asal Indonesia yang dijanjikan bekerja di Uni Emirat Arab. Yanti mendapati Suntina di penampungan ini. Padahal, sebulan sebelumnya, ia tahu perempuan itu dipekerjakan di rumah seorang majikan di Dubai.

Saat Yanti tiba, sudah ada beberapa perempuan lain asal Indonesia di sana. Salah satunya, Nur Hamidah asal Brongkal Kecamatan Pagelaran Kabupaten Malang. Selain dari Malang, ada pula perempuan asal Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kabarnya, ia tinggal cukup lama di sana, hingga bisa menjadi penerjemah bagi pendatang baru asal Indonesia di penampungan.

Penghuni penampungan pun datang dan pergi silih berganti. Beberapa di antara mereka kembali setelah bekerja beberapa waktu lamanya di rumah majikan. Umumnya cerita mereka sama, tak digaji dan kerap mendapat perlakuan kasar majikan, sebelum dikembalikan ke penampungan. Ditampar dan dicaci jadi santapan sehari-hari.

Meski tak betah, pulang ke Indonesia bukan perkara mudah. Beragam cara dilakukan pengelola penampungan agar pekerja migran tetap bertahan. Dari menyita telepon genggam hingga memaksa mereka membuat testimoni palsu.

Nur Hamidah misalnya, ia dipaksa berakting di depan kamera dan bicara sedang baik-baik saja di Suriah. Video itu lantas dikirim ke keluarga di Malang agar tak merisaukan kondisi mereka. Toh, mereka tetap sembunyi-sembunyi berkirim pesan tentang kondisi sebenarnya pada keluarga di Indonesia.

Pada November, Yanti menjalani pemeriksaan kesehatan. Seorang dokter menudingnya positif hamil. Yanti terperangah. Bagaimana mungkin ia yang baru saja menstruasi dituding berbadan dua.

Pengelola penampungan tak percaya. Mereka memaksa Yanti menelan empat butir pil perontok janin. Sebutir saja tertelan, rasa sakitnya tak keruan. “Perut sakit sampai ke dada, punggung juga sakit sekali rasanya,” katanya, menceritakan pengalaman setelah meminum sebutir pil itu.

KEMBALI. Yanti memeluk anaknya di depan rumahnya di Desa Karangsari, Bantur Kabupaten Malang. Ia bersyukur pulang ke rumah. Foto: Dyah Ayu.

Agar mau menelan pil kedua, pengelola penampungan menyekap Yanti di kamar mandi berjam-jam. Ia juga dipaksa menjalani operasi untuk mengugurkan kandungan. Tapi menolak dan berdalih harus mendapat izin suami dan orang tua. Ia pun diancam mengganti seluruh biaya yang sudah dikeluarkan sponsor dan agen jika memaksa pulang karena hamil.

Tapi tekadnya sudah bulat. Ia ingin pulang ke Malang. Yanti berkirim pesan ke suaminya, Senawi.

Di Malang, Senawi kelimpungan menerima kabar istrinya di perantauan. Mula-mula ia menemui Samsuri, orang yang pertama kali menawari istrinya pergi ke Dubai. Tak berhasil memulangkan Yanti, Senawi minta tolong Lasenan, sesepuh dusun sekaligus mantan sponsor pemberangkatan pekerja migran ke luar negeri pada era 1990.

“Berkali-kali saya ketemu Samsuri dan Lasenan, intinya biar Yanti bisa pulang,” kata Senawi.

Dari Lasenan, usaha Senawi membuahkan hasil. Ia berhasil menghubungi pengelola penampungan. Mereka bernegosiasi memulangkan Yanti. Senawi diminta menyediakan uang Rp 7 juta untuk membawa pulang istrinya. “Saya jual tanah ibu saya untuk bayar,” katanya.

Lasenan, kini Kepala Dusun Gumuk Mas, mengatakan uang itu dianggap jaminan karena Yanti dianggap hamil. “Uangnya mau dikembalikan kalau Yanti nggak hamil,” katanya.

Uang disetor. Yanti pun dipulangkan. Dari Aleppo, ia pergi ke Dubai dan lanjut ke Abu Dhabi. Dari sini ia terbang ke Surabaya setelah transit di Jakarta. Lasenan turut menjemput kedatangan Yanti di Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo pada 20 Desember 2018.

Sehari di rumah, Yanti pergi periksa USG. Dokter menyatakan ia tak hamil. Yanti pulang, uangnya tak kembali.


Tak sampai sehari setelah tiba di rumah, Yanti membayar janji pada rekan sepenampungan buruh migran di Suriah. Ia menghubungi anak Suntina, Ahmad Faruq (25), warga Kademangan Kecamatan Pagelaran, dan dan suami Nur Hamidah, Muhammad Abdul Rouf (40), warga Brongkal di kecamatan yang sama. “Semuanya minta pulang,” kata Yanti. Baca laporan berikutnya "Bisa Pergi Susah Kembali" pada Senin 11 Februari 2019.

Baca Juga

loading...