Rabu, 09 July 2025 09:00 UTC
Kegiatan masyarakat yang menghadirkan seni sound horeg saat digelar di Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Minggu, 6 Juli 2025. Foto: Farid penggiat sound horeg.
JATIMNET.COM, Jombang - Fatwa haram sound horeg mengundang reaksi dari kalangan pelaku usaha sound system. Mereka menilai bisnis tersebut justru menjadi hiburan terjangkau bagi masyarakat desa dan kota kecil.
Farid, salah satu seorang operator sound system dari Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang menyatakan bahwa sound horeg itu bukan sekadar hiburan. Namun, musik keliling ini mampu membuka ruang ekonomi, sosial, dan budaya di tengah masyarakat.
"Di acara sound horeg ini banyak warga di desa yang hidup dari situ,” ungkap Farid saat diwawancarai melalui sambungan telepon seluler, Rabu, 9 Juli 2025.
Menurutnya, sound horeg menyediakan alternatif hiburan murah dan mudah diakses. Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, inilah bentuk perayaan yang tidak memberatkan kantong. Namun, tetap menghadirkan kemeriahan.
"Kreativitas ini dianggap sebagai upaya pelestarian budaya lokal yang sering terpinggirkan dari arus utama media. Kadang kita dengar lagu dolanan atau tembang Jawa dibikin versi DJ (disk jockey), itu bikin generasi muda kenal budaya sendiri dengan cara kekinian,” jelas Farid.
BACA: Ganggu Masyarakat saat Sahur, Polres Mojokerto Amankan Empat Kendaraan Sound Horeg
Bagi mereka, sound horeg merupakan bentuk dukungan terhadap pelaku usaha, menjadi alternatif hiburan murah dan menggerakkan ekonomi lokal.
Dampaknya dapat dirasakan di berbagai sektor bisnis, antara lain persewaan sound system, jasa DJ, panggung, makan keliling dan konten kreator. "Acara ini juga berpeluang (membuka lapangan) kerja bagi pemuda desa,“ ungkapnya.
“Kita hadir di sini juga untuk anak muda khususnya, dapat menyalurkan sebuah hobi, sound horeg ini bisa menjadi wadah yang tepat. Toh masyarakat di daerah juga senang dan terhibur, iklim ekonomi juga meningkat, membuka lapangan pekerjaan baru untuk warga desa," sambungnya.
Fatwa haram sound horeg kali pertama muncul dari Pondok Pesantren Besuk, Pasuruan. Kegiatan sound horeg atau hiburan musik keliling di masyarakat dinilai menimbulkan kebisingan, potensi ikhtilat (campur baur lawan jenis), dan simbol perilaku fasik yang menyertainya.