Logo

Ancam Kebebasan Pers dan Demokratisasi, AJI Minta Pengesahan RUU KUHP Ditunda

Reporter:

Rabu, 04 September 2019 06:25 UTC

Ancam Kebebasan Pers dan Demokratisasi, AJI Minta Pengesahan RUU KUHP Ditunda

Ilustrasi jurnalis yang tewas saat menjalankan tugasnya, oleh Cheppy Canggih

JATIMNET.COM, Surabaya – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan LBH Pers meminta DPR tidak tergesa mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU-KUHP), di akhir masa jabatan periode 2014-2019, akhir September.

Sebab 10 pasal dalam draft tersebut bisa mengkriminalkan jurnalis dan media dalam menjalankan fungsinya, serta tidak sesuai dengan semangat demokratisasi. 

10 pasal itu antara lain, Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong; Pasal 263 tentang berita tidak pasti; Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

AJI dan LBH Pers menyebut DPR dan pemerintah tidak hanya mengabaikan masukan masyarakat sipil dengan mempertahankan pasal-pasal yang selama ini banyak dikritik. 

BACA JUGA: AJI Imbau Media Terapkan Jurnalisme Damai dalam Peristiwa Papua

Kedua lembaga itu juga menghidupkan pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, yang sudah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006 lalu. 

Selain itu, DPR dan Pemerintah juga menambah pemidanaan baru yang akan berdampak besar bagi jurnalis dan media, yaitu dengan adanya pasal penghinaan terhadap pengadilan. 

Dalam siaran pers yang diterima Jatimnet, AJI dan LBH Pers meminta DPR dan Pemerintah tak memaksakan untuk mengesahkan RUU KUHP dalam waktu singkat. Melanjutkan pembahasan ini dalam waktu yang sangat singkat diyakini tidak akan menghasilkan KUHP yang sesuai semangat demokratisasi, selain juga mengabaikan aspirasi masyarakat sipil, organisasi jurnalis dan media.

Selain itu, dua lembaga juga menyodorkan alternatif untuk mengubah soal pencemaran nama baik dari ranah pidana ke perdata, mengikuti perkembangan internasional. 

BACA JUGA: AJI Dorong Jurnalisme Data Masuk Kampus

Memasukkan soal pencemaran nama baik dalam ranah pidana akan memberikan efek menakutkan yang itu tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan tak sesuai semangat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang meminta pers berperan “melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.”

Tuntutan yang lain adalah mendesak DPR dan Pemerintah untuk mencabut pasal 281 soal penghinaan terhadap pengadilan. Sebab, pasal itu dengan mudah bisa dipakai untuk menjerat jurnalis dan media yang selama ini kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan.

Pasal itu bisa dipakai oleh para penegak hukum yang buruk untuk membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusannya atau karena mengungkap perilakunya yang tak sesuai kepatutan atau undang-undang.