Logo

Wakil Menkum HAM: Revisi KUHP Tetap Pertahankan Pasal Penistaan Agama

Reporter:,Editor:

Kamis, 02 June 2022 09:40 UTC

Wakil Menkum HAM: Revisi KUHP Tetap Pertahankan Pasal Penistaan Agama

KULIAH UMUM. Wakil Menkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej saat mengisi kuliah umum di Fakultas Hukum Unej, Kamis, 2 Juni 2022. Foto: Humas Unej

JATIMNET.COM, Jember – Pemerintah menargetkan revisi Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) akan selesai dan diundangkan tahun ini.

Menurut Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, revisi KUHP ini nantinya akan tetap mempertahankan beberapa pasal yang dianggap kontroversial. Salah satunya pasal seputar penistaan agama. 

Pemerintah memiliki sejumlah alasan untuk tetap mempertahankan pasal yang banyak dikritik dan disebut sebagai “pasal karet” oleh sejumlah aktivis HAM, yakni untuk menjaga ketentraman. 

“Pidana terhadap penodaan agama dalam KUHP ini juga dilakukan di negara lain semisal yang dilakukan oleh Belanda. Awalnya Belanda menghapus pasal penodaan agama, namun di tahun 1983 memberlakukan kembali setelah munculnya kejadian persekusi terhadap kalangan agama dan minoritas tertentu di Belanda,” ujar Eddy Hiariej, sapaan akrabnya usai memberi kuliah umum bertema “Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”  di Fakultas Hukum (FH) Universitas Jember (Unej), Kamis, 2 Juni 2022.

BACA JUGA: Tolak RUU KUHP, Ini Pandangan Tokoh Muda NU Jatim

Sebelumnya, pasal penodaan atau penistaan agama (blasphemy) mendapat banyak kritik karena penerapannya yang dinilai kerap subjektif menurut para aktivis HAM dan pemerhati hukum.

Namun, menurut Eddy, revisi KUHP itu sudah mempertimbangkan aspek sosial dan agama yang berkembang di masyarakat. Penyusunan revisi KUHP juga diklaim pemerintah sudah mempertimbangkan perkembangan zaman. 

“Kajian hukum itu sungguh luas, meliputi bayi yang masih dalam kandungan hingga orang yang sudah mati pun diatur oleh hukum. Hukum juga merupakan sistem terbuka yang dibangun atas sub sistem-sub sistem lainnya,” katanya.

Menurutnya, hukum juga terkait dengan sistem-sistem lainnya seperti agama, sosial, ekonomi, dan politik. “Kemenkumham RI menyadari jika dalam masa penyusunan RUU KUHP muncul kontroversi, maka hal tersebut lumrah karena  tidak mungkin RUUH KUHP bisa memuaskan semua pihak,” kata guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini. 

BACA JUGA: Pewarta Blitar Raya Jalan Mundur Tolak Pengesahan RUU KUHP

Lebih lanjut, Eddy menjelaskan jika hukum haruslah adaptif terhadap dinamika zaman. Dalam konteks itulah, pemerintah menyesuaikan revisi KUHP dengan sistem lainnya seperti sistem agama, sosial, ekonomi, adat istiadat, dan politik.

Revisi KUHP di Indonesia bahkan disebut bisa lebih cepat dibandingkan yang dilakukan di Belanda. Padahal, Indonesia adalah negara multikultural yang potensi tarik-menariknya lebih rumit dibanding negara homogen. 

“Di Belanda yang baru bisa merampungkan KUHP setelah memakan waktu 70 tahun. Padahal Belanda adalah negara yang tergolong relatif homogen secara agama, sosial, ekonomi, adat istiadat, serta politik,” kata pria yang pernah menjadi guru besar ilmu hukum termuda di Indonesia ini.