Logo

Tutupan Lahan Menurun, Bencana Terus Mengancam Jatim

Reporter:

Senin, 01 February 2021 09:40 UTC

Tutupan Lahan Menurun, Bencana Terus Mengancam Jatim

Ilustrasi Gempa

JATIMNET.COM, Surabaya - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur mencatat bencana hidrometeorologi terus meningkat setiap tahun di wilayahnya. 

Data yang didapat WALHI Jatim dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dari tahun 2013-2014 ada sekitar 233 bencana. Meningkat setahun setelahnya pada 2015 menjadi 297 bencana. 

Meningkat lagi pada tahun 2016 sebesar 404 bencana, lalu 434 bencana di 2017, 455 bencana di 2018, bertambah lagi menjadi 620 bencana pada 2019. 

Manajer Kampanye WALHI Jatim, Wahyu Eka melihat peningkatan risiko kerentanan bencana salah satunya disebabkan oleh perilaku antropogenik. Yakni bahaya yang disebabkan oleh aktivitas manusia.

Baca Juga: Angkat Kayu di Tempat Bencana, Risma Dapat Cibiran

"Salah satu faktor penyumbang perubahan iklim dan kerentanan bencana, memunculkan sebuah keniscayaan bahwa perubahan iklim antropogenik akan meningkatkan beberapa bencana hidrometeorologi dan dampak kesehatan yang terkait," kata Wahyu Eka tertulis, Senin 1 Februari 2021. 

Data Global Forest Watch (GFW), kata Eka, pada 2001 Jawa Timur memiliki 232.000 hektar hutan primer yang membentang di lebih dari 4,8 persen luas daratannya. Namun pada tahun 2019, hutan primer di Jawa Timur hilang sekitar 439 hektar setara dengan 255 kt emisi CO₂. 

Tak hanya itu, dari 2001 hingga 2019 tercatat Jawa Timur telah kehilangan 84.500 hektar tutupan pohon. Luas itu setara dengan penurunan 4,4 persen tutupan pohon sejak 2000, dan 36,3 juta ton emisi CO₂. 

Dalam aplikasi peta milik GFW juga disebutkan adanya lima daerah teratas yang bertanggung jawab atas 54 persen, dari seluruh kehilangan tutupan pohon antara tahun 2001 dan 2019.

Baca Juga: Ada Potensi Aktivitas Kegempaan, BPBD Jatim Lakukan Langkah Ini

Rinciannya, yakni Banyuwangi 15.800 hektar, Jember 12.200 hektar, Malang 8.780 hektar, Bondowoso 4.740 hektar dan Tulungagung 3.860 hektar. 

Berdasarkan telaah data itu, Eka menilai, pemerintah terlalu abai dengan tidak melihat faktor kerentanan wilayah dalam menetapkan tata ruang dan sebuah kebijakan.

"Penting kiranya pemerintah pusat, Pemprov Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Jawa Timur untuk membuat kebijakan yang berbasis pada sains serta realitas," kata Eka. 

Dia melihat, selama ini izin tambang dan aneka izin yang tumpang tindih dengan kawasan hutan lainnya masih dirasa sangat masif. Eka merekomendasikan, rencana ulang pengelolaan yang memprioritaskan penyelamatan ruang hidup dari pada untuk eksploitasi.

Baca Juga: Peneliti Ingatkan Potensi Gempa di Jawa Timur

Selain itu, pihaknya juga meminta pemerintah menghentikan izin tambang baik di kawasan hutan maupun pesisir Selatan, karena kini mulai marak lagi.

"Pemerintah harus bekerja sama dengan masyarakat, akademisi dan praktisi. Transparan dan demokratis untuk mengumpulkan bukti serta mengembangkan strategi untuk melindungi wilayah dari kehancuran, tingginya resiko bencana, dan tingginya ancaman kesehatan dari cuaca ekstrem dan peristiwa iklim," bebernya. 

Eka mengkritik tentang manajemen risiko bencana yang tidak mempertimbangkan perubahan iklim. Padahal itu sangat penting untuk mengurangi risiko bencana jangka panjang. 

"Karena kebutuhan, fokus mereka (pemerintah) adalah pada pencegahan, respons, dan pemulihan dari berbagai peristiwa, tidak semua terkait iklim, dengan lebih sedikit perhatian pada risiko jangka panjang," tandasnya.