Selasa, 10 November 2020 13:40 UTC
DIES NATALIS. Dekan Fakultas Hukum Unej Bayu Dwi Anggono menyampaikan orasi ilmiah dalam peringatan Dies Natalis Unej ke-56, Selasa, 10 November 2020. Foto: Humas Unej
JATIMNET.COM, Jember – Pemerintah disarankan menata ribuan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dinilai masih kerap tumpang tindih. Langkah ini juga sebagai upaya untuk mengurangi hambatan pembangunan dari sisi regulasi, sebagaimana yang dikeluhkan Presiden Joko Widodo.
“Banyaknya peraturan perundangan ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dan mempersulit berbagai hal. Apalagi peraturan perundangan berfungsi sebagai alat pengatur, penuntun, penjamin ketertiban, untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan sosial,” ujar pakar Hukum Tata Negara (HTN) yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember (FH Unej) Bayu Dwi Anggono saat berbicara dalam orasi ilmiahnya sebagai dies reader peringatan Dies Natalis Universitas Jember ke-56, Selasa, 10 November 2020.
Menurut Bayu, dibutuhkan komitmen bersama untuk menjalankan penataan peraturan perundang-undangan. “Komitmen untuk melakukan penataan peraturan perundangan ini harusnya ditegaskan secara nasional dalam suatu dokumen yang disusun bersama, lalu disosialisasikan secara optimal dengan melibatkan partisipasi publik dan diterapkan pada semua tingkat pemerintahan,” katanya.
BACA JUGA: Karyawan Kontrak hingga Pekerja Lepas Gugat UU Ciptaker ke MK
Menurutnya, seperti yang dijelaskan Menko Polhukam Mahfud MD, dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat keputusan-keputusan politik dibandingkan dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya.
Berdasarkan catatan Bayu, hingga November 2019, terdapat 43.005 peraturan perundangan di Indonesia. Rinciannya, 1.686 Undang-Undang, 180 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), 455 Peraturan Pemerintah (PP), 2.002 Peraturan Presiden (Perpres), 14.456 Peraturan Menteri (Permen), 4.165 peraturan lembaga pemerintah nonkementerian, dan yang terbanyak adalah Peraturan Daerah (Perda) 15.965 aturan.
Menurutnya, sebagai langkah awal reformasi hukum, terdapat strategi penataan peraturan perundangan dengan mengacu lima prasyarat. Lima prasyarat tersebut adalah tertib dasar peraturan perundangan, tertib pembentukan peraturan perundangan, evaluasi peraturan perundangan, sistem pengujian perundangan, dan melibatkan partisipasi publik.
Bayu memaparkan usulannya dalam menata peraturan perundangan Indonesia. Pertama, menetapkan tujuan dan kerangka yang jelas untuk diimplementasikan dalam program penataan peraturan perundangan di tingkat politik negara. Kedua, melakukan penataan atas jenis, hierarki dan materi muatan peraturan perundangan. Ketiga melakukan harmonisasi peraturan perundangan sekaligus memperbaiki proses perencanaan pembentukan peraturan perundangan dengan mengadopsi praktik penilaian dalam usulan rancangan peraturan perundangan baru.
BACA JUGA: Revisi UU Minerba Bingungkan Pemerintah Daerah
Langkah keempat dilakukan dengan mewujudkan partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundangan sebagai jaminan dari negara demokrasi. Terakhir, pemerintah disarankan untuk mengadopsi evaluasi peraturan perundangan secara rutin dan sistematis.
Selain itu, Bayu juga mengusulkan agar uji materi atau Judicial Review (JR) aturan perundangan dijadikan satu atap terpusat di Mahkamah Konstitusi (MK). Selama ini, MK hanya melakukan JR UU yang dianggap bertabrakan dengan konstitusi. Sedangkan untuk peraturan yang dianggap bertentangan dengan UU, proses JR dilakukan di Mahkamah Agung (MA).
“Saya juga mengusulkan agar ada pembentukan lembaga khusus yang bertanggungjawab dalam pembentukan peraturan perundangan yang terlibat sejak awal dalam proses pembentukan regulasi di lingkungan pemerintah seperti yang dibentuk di Korea Selatan,” kata doktor hukum tata negara lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini.
