Rabu, 20 May 2020 12:00 UTC
TOLAK TAMBANG. Warga Desa Sawo, Kec. Kutorejo, Kab. Mojokerto, menolak ekskavator yang akan membuat akses jalan untuk tambang galian C di desa setempat, Kamis, 19 Maret 2020. Foto: Karina Norhadini
JATIMNET.COM, Surabaya – DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau yang biasa dikenal UU Minerba dalam Rapat Paripurna, Selasa, 12 Mei 2020.
Namun pengesahan ini justru menimbulkan kebingungan di pemerintah daerah. Pasalnya perundangan ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Sebab dalam UU Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan kekayaan di tingkat provinsi masih menjadi kewenangan pemprov.
"Menurut kami dengan UU yang telah ditetapkan DPR itu (UU Minerba), masih perlu didiskusikan kembali bersama Kemendagri," ujar Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur Setiajid, Rabu, 20 Mei 2020.
BACA JUGA: Masyarakat Mojokerto Tolak Tambang Galian C di Lahan Persawahan
Salah satu pasal perubahan yang ada di dalam UU Minerba adalah soal kewenangan izin. Pemerintah dan DPR menyepakati bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh pemerintah pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Artinya, semua perizinan kembali jadi kewenangan pemerintah pusat.
Perizinan yang didelegasikan ke pemerintah daerah menyisakan izin batuan berskala kecil dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
"Saya kira efektivitas pelaksanaan UU yang baru itu masih dua tahun kemudian. Kami tidak tahu apakah UU Nomor 23 Tahun 2014 itu akan dilakukan perubahan atau tidak. Sepanjang UU itu tidak dilakukan perubahan, maka kewenangan pertambangan masih ada di pemerintah provinsi," katanya.
Setiajid menilai penarikan kewenangan izin pertambangan ke pemerintah pusat kembali memperpanjang birokrasi. "Kecuali misalnya, pusat akan membangun atau membentuk kantor perwakilan di provinsi," katanya.
Menurut dia, pembentukan kantor wilayah atau paling tidak menggabungkannya dengan dinas terkait di daerah menjadi solusi lain. Setidaknya itu bisa memangkas waktu perizinan.
BACA JUGA: Dampak Tambang, Ratusan Mata Air di Lebakjabung Hilang
"Saya tidak tahu apakah ke depan pertambangan akan dipersulit. Karena bisa jadi alasannya kerusakaan lingkungan dan berbagai hal. Kalau memang alasannya seperti itu tidak apa-apa," kata dia.
Setiajid berharap ada komunikasi dengan pemerintah daerah terkait UU Minerba. Setidaknya untuk sosialisasi pelaksanaan undang-undang tersebut. Sebab selain memangkas kewenangan perizinan, di perundangan itu juga diatur pengelolaan hasil tambang yang ada di tangan pemerintah pusat.
"Sampai sekarang kami tidak pernah diajak bicara (sosialisasi)," tuturnya.
Terlepas dari itu, Setijid mengungkapkan bahwa tetap patuh pada kebijakan pemerintah pusat. "Prinsipnya dari kami karena kami struktural, kami patuh pada kebijakan pusat apa yang ditetapkan pusat akan kita laksanakan," ujarnya.