Selasa, 13 November 2018 07:20 UTC
Peta kejadian longsor di Indonesia dalam kurun 10 tahun terakhir. Foto:Twitter @infomitigasi
JATIMNET.COM, Surabaya – Pulau Jawa termasuk merupakan pulau yang paling rawan terjadi bencana tanah longsor dibandingkan dengan pulau lainnya di Indonesia. Longsor termasuk dalam bencana hidrometeorologi yang sering terjadi ketika musim hujan.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis, selama tahun 2018 ini, bencana hidrometeorologi tetap dominan. Jumlah kejadian puting beliung 605 kejadian, banjir 506, kebakaran hutan dan lahan 353, longsor 319, erupsi gunungapi 55, gelombang pasang dan abrasi 33, gempabumi yang merusak 17, dan tsunami 1 kali.
Gempabumi yang merusak dan tsunami memang jarang terjadi. Namun saat terjadi gempabumi yang merusak seringkali menimbulkan korban jiwa dan kerugian ekonomi yang besar.
BACA JUGA: Kementerian ESDM Petakan Potensi Bencana Di Indonesia
Akun twitter @infomitigasi melansir peta kejadian lognsor selama 10 tahun terakhir. Terlihat dalam peta jumlah titik kejadian di Pulau Jawa yang paling banyak dibandingkan dengan pulau Sumatera, Kalimantan, Papua, atau Sulawesi.
Secara umum wilayah di Pulau Jawa yang paling sering terjadi berada di wilayah Jawa tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. “Di Jatim skalanya tidak sesering di wilayah Jateng, dan Jabar,” tulis admin @infomitigasi.
Kejadian bencana longsor dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, ini sering terjadi karena salahnya Tata kelola Lingkungan, Pembangunan yang dilakukan tanpa melihat aspek-aspek kebencanaan dan makin berkurangnya wilayah tangkapan air akibat pertumbuhan penduduk.
BACA JUGA: BNPB Luncurkan Buku Saku Hadapi Bencana
Bencana bukan hanya tanggung jawab dari pemerintah semata, ada masyarakat dan dunia usaha yang turut dalam hal pengurangan risiko bencana. “Perlu ketegasan pemerintah dalam hal regulasi AMDAL dan Tata Kelola Lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan,” demikian bunyi kultwit @infomitigasi.
Dalam buku saku menghadapi bencana yang diterbitkan BNPB, disebutkan bhawa bencana tanah longsor seringkali dipicu karena kombinasi dari curah hujan yang tinggi, lereng terjal, tanah yang kurang padat serta tebal, terjadinya pengikisan, berkurangnya tutupan vegetasi, dan getaran.
BACA JUGA: BMKG Ingatkan Bencana Hidrometeorologi
Bencana longsor biasanya terjadi begitu cepat sehingga menyebabkan terbatasnya waktu untuk melakukan evakuasi mandiri. Material longsor menimbun apa saja yang berada di jalur longsoran.
Upaya mitigasi yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi tingkat keterjalan lereng permukaan maupun air tanah. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan pemukiman dan fasilitas utama lainnya.
Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada teras - teras dijaga jangan sampai menjadi jalan meresapkan air ke dalam tanah).
Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari 40 derajat atau sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diseling-selingi dengan tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).
Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat. Melakukan pemadatan tanah di sekitar perumahan. Pengenalan daerah rawan longsor. Serta pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
Dalam rilis BNPB beberapa waktu lalu, per 25 Oktober 2018, tercatat 1.999 kejadian bencana di Indonesia. Jumlah ini akan terus bertambah hingga akhir 2018 mendatang. Dampak yang ditimbulkan bencana sangat besar.
Tercatat 3.548 orang meninggal dunia dan hilang, 13.112 orang luka-luka, 3,06 juta jiwa mengungsi dan terdampak bencana, 339.969 rumah rusak berat, 7.810 rumah rusak sedang, 20.608 rumah rusak ringan, dan ribuan fasilitas umum rusak.