Selasa, 03 November 2020 15:00 UTC
PERTEMUAN PROFESSOR. Professor Summit 2020 yang diikuti secara daring oleh 45 profesor dari seluruh Indonesia, Selasa, 3 November 2020. Foto: Humas ITS
JATIMNET.COM, Surabaya – Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) kembali menghelat agenda Professor Summit 2020, sebuah forum yang mewadahi pemikiran dan karya inovatif profesor di Indonesia untuk membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa, 3 - 6 November 2020 secara online atau dalam jaringan (daring).
Kegiatan tahunan Dewan Profesor (DP) ITS yang baru diadakan untuk kali kedua ini diikuti oleh para 45 profesor (guru besar) dari seluruh Indonesia dan tiga pelaku profesional yang bekerja sama dengan Majelis Dewan Guru Besar PTN Badan Hukum, Forum Dewan Guru Besar Indonesia, dan Asosiasi Profesor Indonesia (API).
Ketua API Ari Purbayanto menyatakan bahwa para profesor di Indonesia saat ini masih belum merdeka. Ia sendiri menganggap profesor di Indonesia belum bersatu. Sehingga, ia berharap melalui kegiatan ini semua profesor dapat saling memberikan arahan dan membantu satu sama lain, sehingga menjadi lebih maju khususnya wilayah ASEAN.
BACA JUGA: Empat Kebijakan Kampus Merdeka, Ini Kata Mendikbud Nadiem
“Para profesor Indonesia tidak boleh hanya diam saja agar negara tidak salah arah. Kita harus terus meningkatkan kualitas dan kuantitas, memberi masukan kepada pemerintah, dan mampu membawa negara ini menjadi lebih maju,” kata Ari, Selasa, 3 November 2020.
Ia juga menyayangkan kuantitas profesor di Indonesia sebanyak 5.389 orang yang terhitung masih sangat sedikit jika dibandingkan 268 juta jiwa jumlah penduduk Indonesia. Apalagi, sebanyak 45 persen dari jumlah tersebut atau 2.395 profesor masih berada di 11 Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) yang terpusat di pulau Jawa.
“Kita (para professor) belum merdeka sebab masih terkungkung di kampus masing-masing, saya sedih melihat kualitas wilayah pelosok sebab terlalu terpusat di Jawa. Mengapa profesor tidak diberikan kebebasan mengajar di kampus-kampus lain?,” ia menandaskan.
Bahkan, Ari juga menyesali bagaimana gelar profesor di Indonesia yang terlalu terpaku pada publikasi Scopus. Menurutnya, seharusnya profesor mampu berinovasi dan diakui manfaatnya, selain menulis di jurnal Scopus yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dari gelar profesor. Namun, kenyataannya jika belum terakreditasi Scopus, maka ia tidak akan diakui sebagai profesor.
BACA JUGA: Kemendikbud Bungkam Aspirasi Mahasiswa Demo Tolak UU Cipta Kerja?
Selain itu, ia juga menyorot adanya topik penelitian yang sebenarnya sangat berkualitas, namun bisa saja tidak terdanai karena keterbatasan dana yang tersedia.
“Dalam hal ini Malaysia masih jauh lebih baik dari kita, sebab mereka setiap membuat proposal langsung mendapat dana, sementara kita harus diseleksi sebab dana yang dibatasi,” ia mengungkapkan.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Ketua DP ITS Nadjadji Anwar berharap adanya forum untuk bertukar informasi mengenai pemikiran-pemikiran dan karya-karya inovatif yang telah dihasilkan oleh para professor. Sehingga dapat membangun dan menyelesaikan persoalan bangsa.
“Melalui kegiatan ini (Professor Summit) saya harap dapat menjadi wadah untuk meningkatkan sensitivitas para profesor agar bisa menjaga idealisme, integritas, dan mengutamakan kemanfaatan dalam berkarya,” kata Nadjadji.