Logo

Perayaan Idulfitri Bagi Jemaah Aboge Probolinggo Berbeda Sehari

Reporter:,Editor:

Selasa, 01 April 2025 03:00 UTC

Perayaan Idulfitri Bagi Jemaah Aboge Probolinggo Berbeda Sehari

Jemaah Islam Aboge di Probolinggo saat melaksanakan salat Idulftri, Selasa, 1 April 2025. Foto: Zulafif

JATIMNET.COM, Probolinggo - Jemaah Islam Aboge di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, kembali merayakan Idulfitri 1446 Hijriyah dengan jadwal yang berbeda dari penetapan pemerintah.

Mereka melaksanakan salat Id pada Selasa pagi, 1 April 2025 atau sehari setelah mayoritas umat Islam di Indonesia merayakan Lebaran.

Tradisi ini berdasarkan sistem penanggalan Islam versi Jawa Kuno yang tertuang dalam Kitab Mujarobah. Dengan metode hisab khas Aboge, mereka menentukan awal Ramadan dan Syawal secara mandiri.

BACA: Hari Ini, Jemaah Ponpes Mahfilud Dluror Jember Rayakan Idulfitri 1446 Hijriah

Di Dusun Wuluhan, Desa Leces, Probolinggo, sekitar pukul 06:15 WIB, jemaah mulai berdatangan ke halaman musala untuk menunaikan salat Id. Laki-laki mengenakan baju koko dan sarung, sementara perempuan tampil anggun dengan mukena berwarna putih.

Istilah Aboge sendiri merupakan singkatan dari Alif Rebo Wage, merujuk pada sistem perhitungan tahun dan hari pasaran Jawa.

Bagi kelompok ini, penentuan hari raya menggunakan metode Wal-Ji-Ro yang menetapkan bahwa 1 Syawal 1446 H jatuh pada Selasa Wage.

Menurut Ustaz Buri Bariyah, salah satu tokoh jemaah, perbedaan ini bukan hal baru. "Sudah sejak lama kami mengikuti pedoman dari kitab Mujarobah. Perbedaan ini bagian dari tradisi kami, dan tetap kami jalankan tanpa mendahului keputusan pemerintah," ujarnya.

BACA: Salat Id, Wali Kota Mojokerto Ajak Warga Bersinergi Mewujudkan Panca Cita

Usai salat, jemaah saling bersalaman dan bermaafan, mempererat tali silaturahmi. Mereka kemudian menikmati nasi tumpeng bersama sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur.

Di Kabupaten Probolinggo, Jemaah Aboge tersebar di empat kecamatan, yaitu Leces, Bantaran, Tegalsiwalan, dan Dringu dengan jumlah sekitar seribu orang.

Meski memiliki perbedaan dalam perhitungan kalender, mereka hidup rukun dengan masyarakat sekitar. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman tradisi tetap bisa berjalan berdampingan dalam harmoni.