Selasa, 28 August 2018 11:37 UTC
Bupati Jombang non-aktif Nyono Suharli keluar dari ruangan sidang, di Pengadilan Tipikor, Surabaya, Selasa, 28 Agustus 2018. (Foto: Fahmi Aziz)
JATIMNET.COM, Surabaya – Kasus suap terkait perizinan pengurusan jabatan di Pemerintah Kabupaten Jombang, dengan terdakwa Bupati Jombang (non aktif), Nyono Suharli kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Jalan Bandara Juanda, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo.
Agendanya, nota pembelaan terdakwa yang disampaikan penasehat hukumnya, Soesilo Ariwibowo. Dia menilai, tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk kliennya (Nyono Suharli) dengan menerapkan pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal ini tidak sesuai dengan fakta di persidangan dalam keterangan saksi ahli. Bahwa menyampaikan kalau Nyono juga mantan Wakil Ketua DPRD Jombang dari partai Golkar itu tidak menggunakan uang ataupun menandatangani SK-nya Inna Silestowati.
“Harusnya yang diterapkan itu pasal 11. Karena di dalam persidangan itu tidak ada fakta yang menyebutkan bahwa uang itu digunakan untuk menggerakkan Pak Nyono supaya beliau menandatangani SK-nya Bu Inna Silestowati menjadi Sekretaris Dinas Kesehatan yang merangkap sebagai Plt Kepala Dinas Kesehatan Jombang,” kata Soesilo, di sela usai persidangan, Selasa, 28 Agustus 2018.
Ketika fakta itu tidak ada, lanjut dia, seharusnya beralih ke fakta yang di lainnya. “Pemberian-pemberian itu hanya sekadar bantuan Pak Nyono dalam kegiatannya berpolitik dan lain sebagainya,” ujar dia.
Selain itu, Soesilo senditi juga tidak setuju mengenai masalah pencabutan hak politik. Walauapun itu sudah diatur dalam Pasal 35 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, bahwa hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
“Pencabutan hak politik adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Karena, manusia tidak memiliki stigmatisasi. Katakanlah sekarang koruptor ditangkap, kemudian bebas dan di masa depan tetap tidak mesti menjadi koruptor lagi,” katanya.
Mengenai hal tersebut, JPU Ariawan menilai dalam persidangan ada perbedaan penafsiran itu wajar antara dirinya dan pengacara. “Ia memandang fultoidnya harus selesai semua,” kata Ari usai sidang.
Padahal di dalam doktrin hukumnya, lanjut Ari, ketika yang bersangkutan menerima uang itu sudah membuktikan asal usul uangnya, tentunya itu masih dianggap menjadi satu keterkaitan.
Seperti masalah pemberian rumah sakit ini belum ditandatangani. Tapi dalam perkara ini berbeda, karena persyaratan belum lengkap, dan disetujui kemudian menerima uang, seperti keterangan saksi saat di persidangan sebelumnya.
Maka hal itu yang menjadi mendasar fakta dan bukti di persidangan pada 21 Agustus lalu. “Prinsipinya, JPU tidak mundur sedikit pun,” pungkas dia.
Kasus Nyono yang ditangani KPK ini merupakan dari hasil operasi tangkap tangan (OTT) pada Sabtu, 3 Februari 2018 di Stasiun Balapan Solo. KPK menyita uang tunai sebesar RP 25 juta dan uang dalam pecahan dollar AS sebesar 9.500.
Uang yang dijadikan barang bukti itu diduga dari hasil suap perizinan rumah sakit dan kenaikan jabatan kepala dinas kesehatan yakni Inna Silestowati yang menjabat sebagai Plt kepala Dinas Kesehatan Jombang.
