Logo

Pembubaran Aksi #2019GantiPresiden Bisa Dibenarkan

Reporter:

Selasa, 28 August 2018 04:54 UTC

Pembubaran Aksi #2019GantiPresiden Bisa Dibenarkan

Polisi berhak membubarkan demo deklarasi ganti presiden yang cenderung provokatif dan mengganggu, dibanding penyampaian informasi yang bersifat edukatif. FOTO: Arif Ardliyanto.

JATIMNET.COM, Jakarta – Sejumlah aksi bertagar #2019GantiPresiden di Surabaya dan Pekanbaru yang dibatalkan oleh polisi dianggap wajar untuk menjaga kondusivisitas wilayah.

Ketua SETARA Institute, Hendardi menegaskan aksi #2019GantiPresiden merupakan aspirasi politik warga negara yang disuarakan di ruang-ruang terbuka. Namun aksi itu lebih ditujukan untuk memengaruhi pilihan warga negara pada kontestasi politik pada pemilihan presiden 2019.

“Secara normatif, aspirasi tersebut merupakan hal biasa saja. Bahkan penyampaiannya di muka umum merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, karena UUD Negara RI 1945 menjamin kebebasan berpendapat dan berkumpul,” katanya, Selasa (28/8/2018).

Pelarangan yang berlebihan atas aksi tersebut, pada batas-batas tertentu bertentangan dengan semangat konstitusi dan demokrasi. Secara operasional hak untuk bebas berpendapat dan berkumpul dijamin dalam UU 39/1999 tentang HAM dan UU 9/1998 tentang Tata Cara Mengemukakan Pendapat di Muka Umum.

Tapi kata Hendardi, kebebasan berpendapat dan berkumpul merupakan hak yang bisa ditunda pemenuhannya atau derogable rights. “Maka tindakan aparat keamanan yang melarang dapat dibenarkan, jika betul-betul terdapat alasan obyektif yang membenarkannya,” ungkapnya.

Alasan-alasan obyektif dimaksud dapat berupa potensi instabilitas keamanan, potensi pelanggaran hukum, baik dalam konten kampanye yang oleh beberapa pakar bisa dikualifikasi makar, pelanggaran hukum pemilu, khususnya larangan penyebaran kebencian dan permusuhan, maupun dalam konteks waktu kampanye. Ini diatur dalam UU 9/1998 dan peraturan turunannya.

“Penggunaan alasan-alasan tersebut merupakan hak subyektif institusi keamanan yang bertolak dari analisis situasi dan potensi destruktif lainnya,” kata Hendardi.

Sebagai hak subyektif, maka jika masyarakat tidak menerima langkah pembatalan, maka bisa mempersoalkannya melalui mekanisme hukum. Polisi bisa berbekal sejumlah regulasi seperti UU 9/1998, Peraturan Pemerintah No. 60/2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik, dan sejumlah aturan lain, memiliki kewenangan melakukan pembatalan suatu kegiatan.

“Tapi aparat keamanan harus menyampaikan alasan-alasan pembatalan itu pada warga negara/kelompok yang hendak menyelenggarakan kegiatan, demi akuntabilitas,” paparnya.

Untuk menghindari kegaduhan berkelanjutan, warga negara/ kelompok masyarakat juga diharapkan memilih diksi kampanye yang tidak memperkuat kebencian pada pasangan calon lain. Sebab pemilihan presiden adalah kontestasi gagasan.

Warga harus disuguhi informasi alasan-alasan faktual untuk memilih atau tidak memilih seorang calon. “Bukan diprovokasi dengan slogan yang tidak mencerdaskan,” ringkasnya.