Logo

Murah Meriah Bertandang ke Sabang (3)

Reporter:

Sabtu, 22 September 2018 02:35 UTC

Murah Meriah Bertandang ke Sabang (3)

Pelabuhan Balohan Sabang.

JATIMNET.COM, Surabaya – “Hanya ada batu di pulau (Weh) itu,” kata Fajar (31), pemuda Aceh yang menemani perjalanan saya ke Sabang, setibanya di Pelabuhan Ulee Lheue.

Pagi-pagi sekali ia menjemput saya di hotel. Sesaat setelahnya, dengan menumpang sepeda motor matic bututnya, kami memburu kapal pertama menuju Balohan. Deru mesinnya tersenggal-senggal sepanjang perjalanan menuju Ulee Lheue.

Riwayat mengisahkan Pulau Weh adalah pulau vulkanik. Mulanya daratan itu tersambung dengan Pulau Sumatera. Tapi pada masa Pleistosen, sekira 2,5 juta hingga 11 ribu tahun silam, sebuah letusan gunung berapi purba memisahkannya.

Proses vulkanis itu menjadikan kondisi geografis pulau didominasi bebatuan keras. Padi dan palawija sukar tumbuh di tanah seperti itu.

“Padi tak tumbuh, sawah tak ada,” kata Fajar.

Untuk mencukupi kebutuhan, warga Sabang mendatangkan bahan pangan dari Aceh yang lebih subur tanahnya. Tak heran, banyak wilayah di Aceh menggunakan kata “Blang” yang bermakna sawah. Sebut saja Blang Bintang dan Blang Padang.

BACA JUGA:
Murah Meriah Bertandang ke Sabang (1)
Murah Meriah Bertandang ke Sabang (2)
Murah Meriah Bertandang ke Sabang (4-Habis)

Kami ngobrol tentang apa saja untuk membunuh waktu. Dua jam terlewati, Ferry tak datang. Padahal tiket sudah di tangan.

Lewat pukul 10 pagi, Kapal Express Bahari merapat di dermaga. Satu jam lagi, kapal cepat itu kembali mengangkut penumpang ke Sabang.

“Bayangkan saja kapal berusia 30 tahun, lajunya seperti apa,” katanya mengumpat kedatangan Ferry yang tak pasti.

30 tahun? Huft! Kali ini saya yang mengumpat dalam hati. Motor matic miliknya saja -tak sampai berumur 10 tahun- terseok-seok menjelajah jalanan, apalagi kapal berusia 30 tahun yang hilir-mudik di lautan tiap hari.

“Kita naik kapal cepat saja,” kataku.

“Boleh, kita tukar tiketnya,” katanya.

Pemandangan Selat Malaka dari puncak bungker Jepang di Anoe Itam Sabang.
Pemandangan Selat Malaka dari puncak bungker Jepang di Anoe Itam Sabang.

Kami bergegas ke loket untuk menukar tiket. Berbeda dengan saat membeli tiket kapal lambat, kali ini petugas meminta kami memperlihatkan Kartu Tanda Penduduk. Identitas kami serahkan, tiket terbit dengan nama lengkap dan nomor kursi penumpang tertera di permukaannya.

Sembari berlari kecil menuju dermaga tempat kapal cepat bersandar, saya tak habis pikir dengan perbedaan sistem ticketing itu. Sebelumnya untuk mendapat tiket kapal lambat, calon penumpang hanya menyebut nama tanpa memperlihatkan kartu identitas. Andai calon penumpang berbohong pun saya yakin petugas tak peduli.

Saya berburuk sangka, pantas kiranya tiap ada tragedi kecelakan kapal, jumlah dan identitas korban kerap tak terlaporkan secara akurat. Musababnya, ya perkara dokumen manifes perjalanan yang tak rinci.

Keluh kesah saya buyar sesaat setelah naiki kapal. Beberapa lelaki berkumpul di geladak belakang, bersebelahan dengan tumpukan karung berisi sayuran dan bahan makanan. Satu dua orang di antara mereka mencuil sedikit isi karung dan melemparkannya ke laut.

Saya melemparkan pandangan. Air jernih sebening kaca hingga tampak batu-batu kecil di dasarnya. Potongan kecil sayuran jatuh di permukaan, ribuan ikan –entah apa namanya- langsung menyerbu berebutan.

Cantik sekali. Tapi saya tak mau tercebur di sana. Apalagi tenggelam dalam perjalanan.

Jadwal kapal
Jadwal kapal