Minggu, 03 November 2019 13:20 UTC
MINTA HUJAN. Atraksi Gebug Ende yang ditunjukkan pemuda Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, di Octagon Resort, Taman Nasional (TN) Bali Barat, Sabtu 2 November 2019. Foto : Ahmad Suudi
JATIMNET.COM, Surabaya – Dua pemuda memayungi kepala di bawah terik siang, dengan tameng kulit sapi kering berbentuk bundar di tangan kiri. Pemukul rotan di tangan kanan mereka acungkan ke atas mirip pertarugan ala gladiator.
Terlebih keduanya bertelanjang dada saling berhadapan. Mendekat dan setengah menari mengayunkan rotan kurang dari dua meter ke depan. Kayu-kayu lentur sebesar ibu jari kaki itu segera beradu, mendarat keras pada tameng kulit sapi, atau langsung menyabet kulit badan.
Hal ini mereka tunjukkan di tengah pepohonan meranggas, Octagon Resort, Taman Nasional (TN) Bali Barat, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, Sabtu 2 November 2019.
Komang Sudiasa Artawan selaku Saye atau wasit beberapa kali menghentikan duel beberapa pasang peserta. Kepada Jatimnet.com, atraksi itu disebut Gebug Ende yang merupakan tradisi turun-temurun masyarakat Bali untuk meminta hujan.
BACA JUGA: Plataran Menjangan Perbanyak Event, Genjot Wisatawan Domestik
“Kami memisahkan kalau salah satu pemain skill-nya berbeda. Misalnya yang satu sudah mahir dan yang satu baru belajar," kata Komang.
Duel bersenjatakan rotan itu juga akan dihentikan saat salah satu peserta memukul bagian perut ke bawah. Meski bagian atas perut boleh ditebas, duel akan dihentikan bila satu pukulan berhasil mengenai kepala hingga berdarah.
Komang menjelaskan peserta saling gebuk untuk menunjukkan kejantanan masing-masing. Namun persahabatan di antara mereka tetap berlaku, ditandai berpelukannya kedua pemain setelah bertarung.

GLADIATOR. Dua pemuda memainkan gebug ende untuk melestarikan budaya setempat. Foto: Ahmad Suudi.
Bagi masyarakat Bali, Gebug Ende merupakan sarana permohonan kepada Tuhan YME agar diturunkan hujan. Memukulkan rotan ke kepala hingga bocor berdarah adalah tujuan utama, yang akan memperbesar keyakinan masyarakat bahwa hujan akan segera turun.
“Terutama kalau sampai mengenai musuhnya pada bagian kepala, apalagi sampai bocor, itu biasanya keyakinan kami turunnya hujan semakin besar. Masyarakat akan bersorak,” terang Komang yang mengenakan pakaian adat hitam dan berudeng Bali itu.
Dijelaskannya Kabupaten Buleleng memiliki banyak lahan pertanian yang mengandalkan tadah hujan. Bahkan setelah tanam di musim hujan, masyarakat kerap menemui masa jarang turun hujan yang mengancam tanaman mereka.
BACA JUGA: Meminta Hujan, Warga Blitar Gelar Seni Tiban
Saat-saat masyarakat menantikan hujan seperti itu, digelarlah Gebug Ende di berbagai tempat di desa-desa secara berpindah-pindah. Pemuda antar desa akan bertarung satu lawan satu, dalam 30 hingga 50 kali duel sekali digelar.
“Kami di sini mengandalkan hujan alami. Biasanya bulan 12 turun hujan, lalu kami tanam, kadang habis itu tidak ada hujan. Gebug Ende kami gelar terus sampai hujan turun,” kata koordinator pemain Gebug Ende dari Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali itu.
Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Buleleng pada tahun 2017, luas sawah mencapai 10.335 hektare. Seluas 10.270 hektare telah teraliri irigasi, sedangkan 65 sisanya masih mengandalkan tadah hujan.
BACA JUGA: Kekeringan, Puluhan Pelajar Mojokerto Salat Istisqa
Mereka juga mencatat menurunnya jumlah rumah tangga usaha pertanian di Buleleng dalam kurun waktu 10 tahun. Pada tahun 2003 jumlahnya mencapai 110.754 usaha, sementara pada tahun 2013 menjadi 88.913 usaha.
Adapun produktivitas padi oleh para petani Buleleng fluktuatif, 127.798 ton, 134.028 ton, 136.286 ton, 133.440 ton dan 128.209 ton secara berurutan dari tahun 2011 hingga 2015. Dalam laporan yang diterbitkan Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng, disebutkan pada tahun 2015 mereka surplus 6.447 ton beras.
Meski memiliki produktivitas tinggi, Komang mengaku masyarakat tetap melaksanakan Gebug Ende saat tak ada hujan, agar pertanian semakin menghasilkan.
Atraksi yang diiringi musik Tabuhan Bebendongan, dengan sepasang kendang, sepasang reong, ceng-ceng kecil dan seruling itu menjadi warisan leluhur yang terus dilestarikan.