Kamis, 09 May 2019 04:57 UTC
AMPEL. Suasana kawasan Ampel Surabaya. Foto: Hari Istiawan
JATIMNET.COM, Surabaya - Banyak serangkaian tradisi yang kerap dilakukan umat muslim selama Ramadan. Seperti Lek-Lekan, yang dulu sering muncul di kawasan Ampel, Surabaya.
Sayangnya, tradisi ini tak terlihat lagi di Ramadan kali ini.
Ketua RW Ampel Menara M Khotib Ismail menjelaskan, budaya Lek-Lekan atau yang dimaksud dengan melekan dalam bahasa Jawa, merupakan serangkain kegiatan untuk meramaikan Ramadan.
"Pastinya untuk membangunkan masyarakat untuk melakukan sahur," kata dia saat diwawancarai di rumahnya, Kamis 9 Mei 2019.
BACA JUGA: Ramadan, Santri Ponorogo Berselawat dan Menabuh Bedug Usai Tarawih
Lek-lekan ini dilakukan ditengah malam, mulai pukul 12.00 WIB, dengan keliling ke setiap gang. Biasanya kegiatan ini diikuti oleh anak-anak muda maupun bapak-bapak.
Dahulu, banyak alat musik yang dibawa, kata Khotib. Alat-alat tersebut meliputi kendang, seruling, gitar, bedug dan masih banyak lagi.
Namun yang membedakan, warga Ampel tidak menggunakan kentongan seperti di daerah lain.
"Waktu itu saya yang membawa gitar, karena saya suka dan bisa bermain gitar," kata dia.
BACA JUGA: Membuang Waktu, Menunggu Buka Puasa di Jembatan Suroboy
Khotib juga menjelaskan, saat berkeliling yang dinyanyikan bukanlah selawat atau nyanyian khas. Rombongan lek-lekan menyanyikan lagu-lagu yang sedang terkenal pada masanya.
"Saya masih mengingat, terakhir nyanyi lagunya koes plus yang piringan pertama," kata Khotib.
Menurutnya, sejak tahun 1980an, budaya dan tradisi ini mulai ditinggalkan oleh masyarakat Ampel.
Ia menyampaikan, budaya ini mulai tertinggal karena munculnya teknologi baru seperti televisi, gawai dan masih banyak lagi faktor lain.
BACA JUGA: Begini Cara Khofifah Makan Kurma Ajwa
Khotib juga menambahkan, anak-anak muda yang melakukan Lek-lekan ini tergabung dala Karangtaruna atau organisasi masyarakat. Tapi saat ini peminat untuk mengikuti kegiatan tersebut sangat sedikit.
"Nah dulu itu mahasiswa masih bisa digerakkan ke arah positif, sekarang gak bisa karena adanya golongan misalnya adanya aliran-aliran baru," kata dia.
Khotib menyayangkan banyaknya aliran-aliran yang mampu menggerus budaya dan tradisi masyarakat yang saling menghargai.
Kondisi positif atas keberagaman budaya, menurutnya juga diperburuk dengan kegiatan pemilu 2019 yang berkubu-kubu.
