Senin, 30 December 2019 08:27 UTC
MERAJUT KEBERSAMAAN. Kegiatan menembang Babad Tawangalun di Sanggar Sasono Ngudi Utomo, Mojopanggung, Banyuwangi, Minggu 29 Desember 2019. Foto: Ahmad Suudi
JATIMNET.COM, Banyuwangi – Sekelompok penembang lintas etnis, terdiri dari belasan orang, mengkhatamkan Babad Tawangalun dalam semalam untuk merajut kebersamaan dan mengikis politik identitas, Minggu 29 Desember 2019.
Peristiwa itu berlangsung di Sanggar Sasono Ngudi Utomo, Mojopanggung, Banyuwangi. Para pendaras berasal dari etnis Jawa, Madura, Bali, dan Using (Blambangan). Mereka membaca babad yang mengisahkan Kerajaan Blambangan itu dengan irama dan nada berbeda.
Inisiator kegiatan, Suhalik mengatakan acara ini didukung juga oleh komunitas Mocoan Lontar Yusup (MLY) dan Komunitas Pegon yang fokus mengoleksi naskah pesantren kuno. Tujuannya, untuk mengikis polarisasi di masyarakat akibat konflik kepentingan elite politik. Pada beberapa tahun terakhir, konflik kekuasan telah menguatkan politik identitas. Masyarakat terbelah, bahkan hingga lingkungan keluarga dan sekolah.
“Saat itu tahun politik, agama dipolitisasi. Saya sebagai pendidik risau, karena dampaknya sampai terlihat di kelas, masyarakat juga di keluarga saya sendiri jadi tegang. Kami mencoba lewat seni baca bersama dengan tidak menentangkan perbedaan," kata Suhalik, yang sehari-hari berprofesi sebagai guru SMA, pada Jatimnet.com.
BACA JUGA: Khofifah Menyetujui Banyuwangi Buka Jurusan SMK Kopi dan Cokelat
Babad Tawangalun merupakan karya sastra dengan penulis anonim dan menceritakan Kerajaan Blambangan bertahan dari penjajahan. Tak hanya Belanda yang berusaha menundukkan Blambangan, kerajaan lain di Nusantara pun juga. Di antaranya Mataram, Pasuruan, Madura, dan Bali.
Peneliti Blambangan Winarsih Patraningrat Arifin (dalam buku yang diterbitkan pada 1995), memperkirakan Babad Tawangalun ditulis pada 1827-1828 M. Sementara sumber lain, yang ditulis seorang filolog berkebangsaan Belanda Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905), menyebut perkiraan tahun 1832-1841.

INISIATOR. Suhalik, inisiator pelantunan tembang Babad Tawangalun lintas etnis di Banyuwangi. Foto: Ahmad Suudi
Babad ini menyuguhkan kisah yang kaya tentang Kerajaan Blambangan selama kurang lebih dua abad. Dari sejarah pendirian, masa kejayaan, intrik perebutan tahta, hingga keruntuhannya.
“Mari mengubur (permusuhan) masa lalu dan membuat lembaran sejarah baru yang menghargai perbedaan. (Dengan cara) merajut kebersamaan, mengorganisir teman-teman dalam membaca bersama Babad Tawangalun,” kata Suhalik, penulis buku “Mengenal Sejarah dan Kebudayaan Banyuwangi” itu.
BACA JUGA: Kopi Banyuwangi, Produktivitas dan Ancaman Tengkulak
Seorang penembang asal Using, Wiwin Indiarti mengatakan Banyuwangi menjadi tempat pertemuan banyak etnis sejak masa lalu. Sehingga tidak seharusnya masyarakatnya terpolarisasi karena perbedaan, terutama urusan pilihan politik.
“Sejak lama, kami multikultural. Tidak bisa menjadikan semua sama karena wilayah kami area perlintasan,” katanya.
Menurut dia, perbedaan adalah keindahan. Itu tergambar dari cara masing-masing penembang saat mendaras Babad Tawangalun. Tradisi membaca tembang juga ada di tiap etnis. Orang Using menyebut Mocoan, Jawa menamai Mocopatan, dan Madura mengenal sebagai Mamaca. Sedangkan orang Bali menyebut sebagai Mabasa.
“Babad Tawangalun dibaca bersama, dikeroyok ternyata bisa. Menurut saya itu indah,” katanya.