Selasa, 22 September 2020 12:20 UTC
Pilkada Serentak 2020
JATIMNET.COM, Jember – Akademisi pengajar Hak Asasi Manusia (HAM) mengkritik keputusan pemerintah yang tetap melanjutkan tahapan Pilkada 2020 di tengah meningkatnya kasus positif Covid-19.
Keputusan ini dinilai sebagai sikap negara yang mengabaikan keselamatan warganya sendiri demi hajatan politik. “Jangan bicara demokrasi konstitusional apalagi pilkada. Karena hari ini negara gagal melindungi keselamatan warganya akibat pandemi Covid-19,” ujar juru bicara Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (Sepaham) Indonesia, Al Hanif, dalam pernyataan tertulis yang dikeluarkan bersama Pusat Studi HAM dari berbagai kampus, Selasa, 22 September 2020.
Para akademisi HAM ini menyoroti kesepakatan yang dibuat pemerintah, DPR, dan KPU yang dibuat justru di saat laju angka penyebaran Covid-19 semakin meningkat. “Bahkan di hari yang sama, kemarin, kembali rekor tertinggi konfirmasi positif, 4.176 orang, sehingga total konfirmasi, 249.852 orang. Apalagi, kini angka kematian akibat Covid-19 mendekati angka 10 ribu orang, yakni kemarin bertambah 124 kematian dan total 9.677 kematian,” ujar Hanif.
BACA : Cegah Covid-19, Akademisi Usul Kampanye dan Pemungutan Suara Seperti Ini
Sepaham menilai keputusan melanjutkan tahapan Pilkada 2020 itu menunjukkan ketidakpekaan pemerintah atas suara rakyat dan pengabaian atas keselamatan hak-hak dasar warga yang kini sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19.
Apalagi sebelumnya, desakan untuk menunda Pilkada 2020 telah disuarakan berbagai pihak termasuk dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
“Pemerintah hari ini telah gagal mengendalikan laju angka korban akibat Covid-19. Tidak ada tanda-tanda penurunan angka korban. Apalagi, para pejabat di kementerian, KPU, Bawaslu, dan mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan Pemilu justru terpapar Covid-19. Karena itu, kami mengecam keras kesepakatan untuk melanjutkan tahapan Pilkada 2020,” ujar Hanif yang juga Ketua Centre for Human Rights, Multiculturalism, and Migration (CHRM2) atau Pusat Studi HAM, Multikulturalisme, dan Migrasi Universitas Jember (Unej) ini.
BACA : Bakal Calon Wali Kota Positif Covid-19, Seluruh Staf KPU Surabaya Tes Swab
Alasan pemerintah melanjutkan tahapan Pilkada 2020 sebagai bentuk demokrasi konstitusional dinilai sebagai pernyataan yang manipulatif dan mengerdilkan makna demokrasi itu sendiri. Pernyataan itu juga dinilai mengkorupsi tafsir konstitusional yang sesungguhnya mengatur hak-hak hidup, keselamatan warga, dan perlindungan kesehatan.
“Keputusan tetap melanjutkan tahapan Pilkada, bagi kami merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa banyak warga, apalagi di tengah pemerintah yang gagal mengendalikan pandemi sejak tujuh bulan yang lalu,” tutur pengajar Fakultas Hukum Unej ini.
Para akademisi mendesak tahapan Pilkada 2020 ditunda sampai situasi pandemi Covid-19 lebih bisa dikendalikan hingga penurunan angka yang menjadi batas aman bagi keselamatan warga. Sepaham juga meminta pemerintah terlebih dulu menyiapkan kerangka kebijakan maupun regulasi protektif, terkoordinasi dengan baik terutama dengan para ahli dan asosiasi medis, ahli epidemiologi, dan lembaga riset terkait yang menopang kebijakan protektif tersebut.
“Sebelum melanjutkan tahapan Pilkada 2020, pemerintah juga harus memperlihatkan komitmen politik yang mengutamakan penyelamatan hak-hak warga, memperkuat kondisi layanan kesehatan, perlindungan tenaga kesehatan atau medis, dan realisasi progresif perlindungan secara paripurna hak-hak asasi manusia,” kata Hanif.