Kamis, 13 August 2020 10:00 UTC
TOLAK. Massa lintas elemen di Jember tolak Omnibus Law dan dukung RUU PKS. Foto: Faizin
JATIMNET.COM, Jember – Massa buruh dan mahasiswa dari berbagai organisasi mengatasnamkan diri dari aliansi Jember Menggugat (AJM) turun ke jalan menentang RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law yang kini sedang intens dibahas pemerintah. Massa aksi mendesak DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Sekadar informasi AJM ini juga terdiri dari beberapa elemen. Yaitu Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA); Kader Hijau Muhammadiyah (KHM); Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI); Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI); Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM); Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Syariah IAIN Jember; Korps IMMawati; Women March, IBEMPI dan Amorfati.
“Pandemi justru meningkat kasus kekerasan seksual. Negara harus hadir mencegah terus terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual. Karena itu, RUU PKS sudah seharusnya dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas),” kata Dyno Suryandoni, korlap aksi kepada awak media, saat menggelar aksi depan gedung DPRD Jember pada Kamis 13 Agustus 2020.
Aliansi merujuk berdasarkan catatan LBH APIK, laporan kasus kekerasan seksual justru meningkat di masa pandemi. Dari sekitar 30 laporan kasus per bulan sebelum pandemi, lalu melonjak menjadi rata-rata ada 90 laporan kasus per bulan sejak Maret hingga Juni.
Selain itu, berdasarkan data Komnas Perempuan, terdapat 4.898 laporan kekerasan seksual sepanjang tahun 2019. Angka ini menunjukkan tren kenaikan kasus kekerasan seksual hingga 792 persen atau hampir 8 kali lipat, selama 12 tahun terakhir.
BACA JUGA: Kembali Turun ke Jalan, Getol Suarakan Penolakan Omnibus Law di Gedung Grahadi
“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang jelas-jelas dibutuhkan oleh penyintas dan golongan rentan kekerasan seksual, malah ditunda. Ini menunjukkan relasi kuasa yang timpang, dan sesat pikir dari pemerintah dan DPR. Justru Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang mengusung kepentingan korporat dan investasi, yang diutamakan untuk dibahas,” tutur Dyno.
Aliansi menilai, RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law akan memperparah kerusakan lingkungan. Ini antara lain terlihat dari rencana menghapus kewajiban AMDAL dan mengubahnya menjadi peraturan berbasis risiko (risk-based regulation) dalam RUU Omnibus Law.
“Penghapusan izin lingkungan ini akan mempersulit pengawasan, menghilangkan ruang keberatan dan upaya hukum yang selama ini menjadi celah kontrol atas keputusan pemerintah terkait lingkungan hidup,” papar Dyno.
Selain itu, RUU Omnibus Law juga akan menekan nasib pekerja karena akan mempermudah masuknya tenaga kerja asing serta menghilangkan kewajiban pemberian pesangon dan sistem upah minimum.
“Proses penyusunan RUU Cipta Kerja sangat mencederai hak partisipasi masyarakat. Sejak pembahasan Prolegnas sampai penyusunan draft oleh Kemenko Perekonomian RI, Naskah Akademik dan draf RUU tidak dapat diakses oleh masyarakat. Di sisi lain, presiden menargetkan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law), selesai dibahas dengan DPR dalam 100 hari kerja. Ini diperparah dengan ketiadaan oposisi yang kuat di DPR yang terlihat dari berbagai pernyataan bahwa DPR yang akan mengakomodasi semua kepentingan pemerintah di omnibus law,” pungkas Dyno.