Logo

Mahalnya Harga Cabai Rawit Picu Inflasi di Kota Probolinggo

Reporter:,Editor:

Rabu, 17 February 2021 23:00 UTC

Mahalnya Harga Cabai Rawit Picu Inflasi di Kota Probolinggo

PEDAGANG CABAI. Salah seorang pedagang cabai rawit di salah satu pasar tradisional di Kota Probolinggo. Foto: Zulkiflie

JATIMNET.COM, Probolinggo - Mahalnya harga cabai rawit di sejumlah pasar tradisional di Kota Probolinggo sejak awal Januari 2021 menjadi pemicu terjadinya inflasi 0,28 persen.

Mulai awal Februari 2021, harga cabai rawit di pasaran menyentuh angka Rp80-90 ribu per kilogram.

Kepala Seksi Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Probolinggo M. Machsus mengatakan pada Januari 2021, Kota Probolinggo mengalami inflasi 0,28 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) 104,83 persen. Sedangkan laju inflasi year on year atau dibanding tahun lalu di periode yang sama sebesar 1,76 persen.

“Komoditas yang memberikan andil terbesar terjadinya inflasi bulan Januari 2021 adalah cabai rawit, tempe, tahu, tahu mentah, ikan benggol, melon, ketimun, cumi-cumi, dan lain-lain,” katanya, Rabu, 17 Februari 2021.

BACA JUGA: Harga Cabai Rawit Naik Dua Kali Lipat, Ini Penyebabnya

Machsus menyampaikan tingkat inflasi tertinggi di Jawa Timur terjadi di Kota Madiun sebesar 0,60 persen dan diikuti Kota Surabaya 0,37 persen, Kota Probolinggo 0,28 persen, Kabupaten Jember 0,25 persen, Banyuwangi 0,18 persen, dan Kota Kediri 0,16 persen. Sedangkan inflasi terendah terjadi di Kota Malang sebesar 0,06 persen.

Menyikapi mahalnya harga cabai rawit saat ini, masyarakat diimbau mulai memanfaatkan lahan sekitar rumah atau pekarangan sebagai lahan menanam tanaman obat keluarga (toga) dan sayur mayur melalui teknologi hidroponik dan aquaponik.  

Sementara itu, Kepala Bidang Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan (TPHP) Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Probolinggo Irhamni Alfatih mengungkapkan salah satu penyebab kenaikan harga tempe dan tahu di pasaran karena minimnya minat petani menanam kacang kedelai.

BACA JUGA: Harga Cabai di Pasar Tradisional Probolinggo Tembus Rp80 Ribu

Petani enggan menanam kedelai karena produsen atau pabrik tahu dan tempe lebih memilih menggunakan bahan baku kedelai impor. Apalagi ketersediaannya mudah didapat dan berkualitas.

“Kalau kedelai lokal, selain kendala pemasaran, biaya produksinya juga cukup tinggi. Sehingga hasil panennya dinilai kurang menguntungkan dibanding tanaman padi atau jagung,” kata Irham.

Faktor lainnya karena luas dan lahan pertanian yang terbatas sehingga membuat petani cenderung menanam komoditas yang benar-benar menguntungkan seperti padi dan jagung.