Kamis, 30 August 2018 00:30 UTC
Mulyono menunjukan hasil olahan bekatul biskuit warga Kabupaten Bondowoso.
JATIMNET.COM, Bondowoso – Bekatul umumnya menjadi makanan ternak, sapi, kuda atau ayam. Namun demikian, tak sedikit masyarakat yang mengkonsumsinya sebagai lauk makanan sehari-hari. Namun olahan bekatul ini berbeda. Di tangan warga Desa Lombok Kulon, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, bekatul diolah menjadi biskuit renyah.
Apalagi, bekatul ini juga tidak sembarangan. Bahannya dari bekatul padi merah organik yang banyak ditanam di klaster sawah organik petani desa itu. Biskuit bekatul ini merupakan hasil upaya petani setempat memanfaatkan bekas proses penggilingan padi organik menuju ‘zero waste’.
Cemilan bekatul ini berukuran kecil bundar berwarna cokelat. Sisi atasnya lalu diolesi kuning telur. Soal rasa jangan tanya, dijamin enak. Ada yang bilang mirip blondo atau ampas minyak kelapa yang dimasak secara tradisional. Renyah digigit, manis di lidah.
“Saat digigit pertama renyah, tapi lama-lama di mulut jadi lembut dan legit. Tidak ada bau katul, rasanya enak,” kata Alfiyan Firdaus (26) wisatawan asal Banyuwangi, Rabu, 29 Agustus 2018.
Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Al Barokah, Mulyono, mengatakan wanita-wanita kelompoknya berkreasi dengan tepung bekatul tanpa campuran bahan khusus. Selain biskuit, bekatul juga menghasilkan minyak bekatul beras merah dan bubuk sereal. Sereal katul bisa dicampur air panas dalam gelas dan ditambah gula. Rasa dan warnanya mirip seduhan susu bubuk cokelat. Namun ada aroma khas bekatulnya.
“Kami menggiling padi organik dengan mesin modern. Sisa penggilingan berupa katul ternyata layak dijadikan bahan makanan. Karena lahan kami telah memiliki sertifikat organik internasional, jadi sisanya aman untuk dikonsumsi,” kata Mulyono di penggilingan Gapoktan yang di pimpinannya itu.
Dari 130 hektare sawah yang telah mendapatkan sertifikat organik berstandar SNI, seluas 20,9 hektare berhasil lolos sertifikasi internasional. Dengan demikian hasilnya bisa diekspor dengan label organik. Lahan seluas itu milik 400 petani anggota Gapoktan Al Barokah. Dari lahan mereka dihasilkan 7 ton gabah per hektare per panen dengan 3 kali panen per tahun.
Mulyono mengatakan, melalui Gapoktan yang bekerja sama dengan eksportir, beras organik Lombok Kulon berhasil dijual 20 ton per bulan ke Belgia. Sementara itu Jepang juga telah meneken kontrak pembelian 20 ton per bulan. Omset Gapoktan Al Barokah Rp 130 juta dikalikan 25 ton beras organik dari transaksi setiap bulan.

Bupati Bondowoso Said Amin Husni mengatakan sempat gagal mengelola pertanian organik masyarakat di tahun-tahun awal, yakni 2008. Dia mengaku terlalu terobsesi cepat-cepat mengorganikkan sebanyak mungkin sawah-sawah warganya. “Kemudian kami evaluasi, kami harus membangun klaster khusus dan mengerjakannya dengan berkolaborasi bersama berbagai pihak,” kata Amin.
Kabupaten Bondowoso dinilai cukup berani menganggarkan dana Rp Rp 2,6 miliar untuk suksesnya sertifikasi lahan organik internasional. Padahal kabupaten lain maksimal Rp 1 miliar. Sertifikasi organik menyasar pada lahan para petani, sehingga tanaman apapun yang disemai di atasnya berhak mendapatkan label organik.
Klaster organik Lombok Kulon terbangun sejak 2014. Produktivitas padi yang dulu 4 ton per hektare menjadi 7 ton per hektare setiap panen. Gapoktan Al Barokah mengklaim pendapatan petani berbeda jauh dari sebelumnya. Saat bertani secara konvensional menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia, penghasilan kotor petani saat panen Rp 26 juta per hektare. Namun setelah berpindah ke pertanian organik naik menjadi Rp 38 juta per hektare.
“Selain untuk padi organik kita punya sertifikat komoditas jahe dan kunyit organik untuk ekspor ke pasar Eropa. Klaster kopi Java Ijen Raung masyarakat kami juga sudah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (SIG). Saya harap semuanya bisa menjadi peninggalan saya memimpin Bondowoso,” kata Amin yang telah menjabat Bupati Bondowoso 2 kali itu.