Rabu, 29 December 2021 15:00 UTC
Wujud konsep hunian secara hybrid untuk korban erupsi Gunung Semeru.
Gunung Semeru, Erupsi Gunung Semeru, ITS, Berita Surabaya, Surabaya, Lumajang, Mojokerto
JATIMNET.COM, Surabaya - Tim peneliti ITS khususnya dari Pusat Penelitian Mitigasi, Kebencanaan, dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS merumuskan konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) pasca bencana Gunung Semeru.
Hal itu sempat dibahas dalam sebuah diskusi yang diadakan secara daring. Kepala Pusat Penelitian MKPI ITS Adjie Pamungkas mengatakan bahwa diskusi tersebut bertujuan untuk memberikan solusi dalam upaya permukiman kembali (resettlement) pasca bencana erupsi Gunung Semeru.
Diskusi ini juga dihadiri oleh beberapa peneliti dari ITS, di antaranya Johanes Krisdianto dan Wahyu Setyawan dari Departemen Arsitektur, Bambang Piscesa dari Departemen Teknik Sipil, dan Kesumaning Dyah Larasati selaku asisten peneliti di MKPI.
Dalam diskusi tersebut, diusulkan sebuah konsep hybrid hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap). Hal ini dilakukan supaya menghindari potensi konflik akibat delay yang kerap terjadi pada saat pembangunan huntara maupun huntap.
Baca Juga: Tanah Longsor dan Awan Panas Jadi Ancaman Lain dari Erupsi Gunung Semeru
Selain itu, konsep modular tahan gempa dan abu vulkanik juga bisa diterapkan untuk fasilitas umum, seperti kantor desa, sekolah, puskesmas, dan lain sebagainya.
Menurut Wahyu, masyarakat desa harus responsif dan resilien terhadap bahaya bencana di kaki Gunung Semeru. Maka dari itu, dengan implementasi konsep resettlement tersebut, masyarakat desa di kaki Gunung Semeru diharapkan dapat berpartisipasi dalam pemulihan pascabencana.
“Mulai dari meningkatkan perekonomiannya, hingga meningkatkan pengetahuannya mengenai mitigasi bencana alam,” kata Wahyu.

Wujud konsep hunian secara hybrid untuk korban erupsi Gunung Semeru.
Ia pun berharap agar pembangunan permukiman ini bisa ditambah dengan penanaman hutan bambu di sekitar kaki Gunung Semeru. “Penanaman bambu ini dapat menjadi alarm bagi warga desa karena bambu akan mengeluarkan suara keras ketika terkena awan panas,” ia mengungkapkan.
Melanjutkan diskusi tersebut, Johanes memaparkan konsep dari rumah tahan gempa dan abu vulkanik. Rumah tersebut dibentuk dengan atap yang mampu menahan curahan abu vulkanik gunung berapi. Selain itu, rumah tersebut harus berbahan material sederhana, kokoh, dan mudah dicari di daerah Semeru.
“Hal ini dilakukan untuk mempermudah masyarakat desa dalam mengembangkan rumah mereka secara mandiri tanpa keahlian khusus,” kata Johanes.
Tak hanya itu, rumah yang dikonsep oleh tim ITS ini dapat dibangun dengan cepat dan dapat dipindahkan secara mudah. Oleh karena itu, Bambang berpendapat bahwa bahan material yang digunakan harus ringan sehingga dapat dipindahkan dengan mudah dan tidak mudah roboh ketika terkena dampak gempa.
Baca Juga: Kisah Menggelikan Saat Tim Rescue Blue Helmet Berada di Posko Pengungsi APG Gunung Semeru
“Rumah tersebut sudah memiliki fasilitas sesuai standar rumah inti, yaitu terdapat kamar mandi, kamar tidur, maupun dapur,” kata Bambang.
Diharapkan konsep ini dapat segera direalisasikan. Sehingga, rumah yang dibangun ke depannya bisa lebih ramah terhadap bencana alam, khususnya di daerah kaki Gunung Semeru. “Kami berharap rumah tersebut bisa lebih resilien dan tidak mudah roboh,” ia menandaskan.
Keunggulan lain, lanjut Adjie, rumah tersebut bersifat hybrid, yaitu bisa menjadi hunian sementara, kemudian dapat dikembangkan oleh masyarakat menjadi hunian tetap mereka. “Rumah tersebut dapat direduksi seperti ruang studio maupun ditambah menjadi rumah yang lebih luas,” kata Adjie.