Senin, 22 October 2018 02:45 UTC
Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim Sunarta. FOTO: M.Khaesar Januar Utomo.
JATIMNET.COM, Surabaya – Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) mulai menaikkan status dugaan korupsi Kolam Renang Brantas di Jalan Irian Barat 37-39 Surabaya ke tingkat penyidikan.
BACA JUGA : Saksi Korupsi Kolam Renang Brantas Meninggal, Kasus Tetap Lanjut
“Kasus ini sudah naik ke penyidikan, jadi tunggu saja. Saat ini penyidik dari Pidana Khusus (Pidsus) Kejati masih melakukan penyidikan,” kata Kepala Kejati Jatim Sunarta, Minggu 21 Oktober 2018.
Kejati Jatim menegaskan tidak akan menghentikan kasus dugaan korupsi kolam renang milik Pemerintah Kota Surabaya itu. Menurutnya, kasus ini akan tetap berjalan meskipun nantinya ada saksi-saksi yang sudah meninggal dunia. Sunarta memandang penyelamatan aset atau uang negara jauh lebih penting dan masih memungkinkan untuk dilakukan.
Sementara itu, Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Didik Farkhan Alisyahdi membenarkan rencana menaikkan dugaan korupsi kolam renang Brantas dari penyelidikan ke tingkat penyidikan. “Minggu depan diumumkan (level penyidikan), kurang sedikit,” terangnya.
BACA JUGA : Kejati Jatim Tidak Segan Tahan Para Pencuri Aset Negara
Mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Surabaya ini menambahkan pihaknya sudah melakukan ekspose terkait dugaan perpindahan kepemilikan Kolam Renang Brantas dari Pemkot Surabaya ke pihak swasta.
“Tim sudah sepakat untuk menaikkan ke level penyidikan. Tapi belum ada tanda tangan dari Kajati,” ungkapnya.
Pengusutan kembali kasus ini bermula setelah Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melaporkan ke Kejati bahwa sejumlah aset milik Pemkot Surabaya berpindah kepemilikan ke swasta. Perpindahan tersebut diduga dipenuhi dengan cara-cara yang melanggar hukum.
Beberapa aset yang dilaporkan ke Kejati Jatim di antaranya gedung Gelora Pantjasila Jalan Indragiri, tanah di Jalan Upa Jiwa, tanah di Jalan Kenari, gedung PT Iglas di Jalan Ngagel dan kolam renang Brantas.
Dugaan korupsi akibat penyalahgunaan aset kolam renang yang dibangun Belanda pada 1924 ini berawal dari kerjasama Pemkot Surabaya dengan pihak ketiga dalam pengelolaan aset yang memiliki luas 222 meter persegi itu hingga beralih tangan kepemilikan ke pihak ketiga.
Sebelumnya Pemkot Surabaya sudah mengajukan gugatan, namun kalah hingga tingkat Mahkamah Agung (MA).