Senin, 02 September 2019 04:21 UTC
Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Surabaya, Heru Kamarullah. Foto: Dok.
JATIMNET.COM, Surabaya - Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya menunda pemanggilan Nur Cholifah sebagai tersangka kredit fiktif. Hal ini dikarena Kejaksaan masih fokus dalam pemeriksaan ketiga tersangka yang sudah ditahan sebelumnya. Nur Cholifah ditetapkan sebagai tersangka atas pemalsuan dokumen kredit fiktif di PT BRI (Persero).
Ketiga tersangka yang sudah ditahan Nanang Lukman Hakim selaku mantan Associate Account Officer (AAO) pada PT BRI (Persero) di Surabaya, Lanny Kusumawati, dan Agus Siswanto selaku debitur atau pihak ketiga.
"Kami fokus ketiganya dulu untuk diminta keterangan serta penelusuran aset," ucap Kasi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Surabaya, Heru Kamarullah, Senin 2 September 2019.
Heru berjanji secepatnya akan memanggil Nur Cholifah untuk ketiga kalinya. "Pasti kami panggil untuk tersangka ini," ungkapnya.
BACA JUGA: Kejari Surabaya Akan Sita Barang dari Hasil Kredit Fiktif BRI
Heru menjelaskan jika kejaksaan sudah berupaya untuk mendatangi rumah pelaku untuk menyerahkan surat pemanggilan. Namun hingga saat ini pelaku tidak hadir dalam pemeriksaan.
"Kami periksa ketiganya dulu sementara lantaran dugaan kuat ada alat bukti baru untuk penyidikan kasus kredit fiktif ini," bebernya.
Dengan pemeriksaan ketiga tersangka Kejari Surabaya akan menyita barang dan uang yang diduga kuat hasil kejahatan kredit fiktif. "Dalam waktu dekat ini akan kami sita itu (barang dan uang)," kata Heru.
Kasus ini berawal pada tahun 2018, BRI di Surabaya terdapat proses pemberian Kredit Modal Kerja (KMK) Ritel Max Co kepada sembilan debitur. Pemberian kredit ini diberikan Nanang yang saat itu menjadi AAO. Saat proses pemenuhan persyaratan kredit, Nanang bersekongkol dengan Lanny untuk membuat kredit fiktif.
BACA JUGA: Kejari Surabaya Fokus Pemberkasan Dua Tersangka Kredit Fiktif PT BRI Surabaya
Dengan modus itu identitas debitur dipalsu, legalitas usaha Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) debitur diduga juga palsu. Kemudian adanya dugaan mark up (penggelembungan) agunan dan penggunaan kredit tidak sesuai dengan tujuan kredit.
Dalam menjalankan saksi, Nanang tidak melaksanakan tugasnya sebagai AAO, yang seharusnya melakukan pengecekan atas syarat akad kredit. Namun setelah kredit cair, baik Nanang maupun Lanny serta pihak-pihak lain turut menikmati pencairan kredit fiktif tersebut. Hal ini membuat negara mengalami kerugian mencapai Rp10 miliar.
