Kamis, 21 February 2019 22:20 UTC
no image available
JATIMNET.COM, Surabaya – Kasus kekerasan seksual di Indonesia seperti fenomena gunung es karena terbatasnya ruang korban pelecehan seksual untuk melaporkan kasus yang menimpanya.
Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya menilai, fenomena tersebut disebabkan rasa malu, ribet, atau merasa dihakimi jika melaporkan kepada kepolisian maupun pengadilan.
“Selama ini yang terjadi selalu melihat gender,” kata Ketua Departemen HTN FH Unair Dwi Rahayu K usai Seminar Pro-Kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Gedung B FH Unair, Kamis 21 Februari 2019.
Menurutnya, dengan respons yang sedemikian rupa, korban pelecehan seksual ini akan merasa menjadi korban untuk yang kedua kalinya.
BACA JUGA: PSI Desak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Segera Disahkan
Rahayu mengungkapkan, adanya hal-hal yang kurang sesuai mengharuskan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Karena dengan adanya UU PKS bisa memberikan perlindungan dan memberikan kemudahan mendapatkan hak kepada korban.
“Namun, RUU PKS ini harus dibahas dan dikaji secara jelas, yakni dikritisi tapi jangan dipreteli. Agar tidak menjadi polemik atau malah menghalangi keadilan kepada korban,” katanya.
Menurutnya RUU yang akan disahkan saat ini masih rancu dan banyak kekurangan, apalagi banyak penghapusan ayat-ayat yang penting di undang-undang karena sudah dibahas dalam undang-undang lain.
“Misalnya seperti ketentuan, “Karena sudah dijelaskan pada undang-undang terkait”, Nah, kata terkait ini tidak dijelaskan mengacu pada undang-undang mana. Ini kan menjadi ambigu nantinya,” kata Rahayu.
BACA JUGA: Masyarakat Abai Penyebab Kekerasan Seksual di Jatim Tinggi
Salah satu yang menjadi perhatiannya adalah penghapusan poin mengenai edukasi tentang seksual pada jenjang pendidikan. Padahal edukasi ini sangat penting untuk anak-anak maupun di bangku pendidikan. Upaya tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesadarannya tentang seksualitas dan cara menyikapi aksi seksualitas tersebut.
Rahayu mengkhawatirkan, jika poin tersebut dihapuskan akan mempersulit dan membatasi untuk memberikan edukasi edukasi tersebut.
Dosen FH UK Dharma Cendika Wahyu Krisnanto juga berpendapat bahwa RUU PKS ini harus segera disahkan, karena selama ini sering terjadi masalah seksualitas di ruang publik.
Adapun ruang publik tersebut meliputi tempat ibadah, sekolah-sekolah, universitas dan tempat publik lainnya. Dan sangat disayangkan banyaknya kasus tersebut masih belum bisa menjerat pelaku.
BACA JUGA: 94 Kekerasan Anak di Sekolah Terjadi di Jawa Timur
“Karena tidak ada undang-undang yang melindungi korban pelecehan seksual,” katanya.
Misalnya yang sering terjadi adalah pelecehan sensual dengan siulan, colekan, tatapan yang mengganggu orang lain. Menurutnya kasus-kasus yang sering terjadi ini tidak bisa dilaporkan dan dianggap biasa oleh pihak-pihak tertentu.
Apalagi sepanjang tahun 2018 banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di Indonesia, lanjut Wahyu. Dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2018 sebanyak 63 persen masyarakat mengalami pelecehan seksual diruang publik.
Dan paling banyak mengalami pelecehan tersebut adalah anak-anak (anak usia kurang dari 18 tahun) 30 persen dan dewasa (usia 28-37 tahun) sebanyak 30 persen, dan usia remaja (18-27 tahun) sebanyak 26 persen.