Jumat, 07 December 2018 15:40 UTC
Ketua Fatayat NU Jawa Timur, Hikmah Bafaqih. Foto: Nani Mashita
JATIMNET.COM, Surabaya – Abainya masyarakat dan turunnya ketaatan pada norma-norma agama menjadi pemicu angka kekerasan seksual di Jawa Timur masih tinggi. Selain itu, masyarakat juga kerap tidak menyadari ada kekerasan seksual di sekitarnya.
Ketua Fatayat NU Jawa Timur, Hikmah Bafaqih mengatakan, turunnya tingkat kepekaan dan kepedulian sosial masyarakat menjadi akar permasalahan dari maraknya kekerasan seksual yang dialami anak-anak maupun perempuan.
“Awareness ini yang seharusnya kembali dipupuk di masyarakat kita,” kata Hikmah usai diskusi ‘Fight Domestic Violence’ yang diselenggarakan di kantor PWNU Jatim, Jumat 7 Desember 2018.
Selain itu, masyarakat saat ini dinilai kurang taat pada norma-norma agama. Dia mencontohkan gaya pacaran anak muda saat ini yang terlalu kebablasan. Ada anggapan bahwa jika terjadi hamil di luar nikah, tinggal dinikahkan saja. “Padahal kan ada kualitas hubungan dalam pernikahan yang harus dijaga. Bukan sekadar dinikahkan,” ujarnya.
Hikmah mengatakan kasus kekerasan seksual di Jawa Timur selalu saja menimbulkan keprihatinan. Hikmah lantas mengutip data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kabupaten Malang, ada 175 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan. “60 persen itu kekerasan seksual pada anak,” katanya.
Dia menyebut di bulan November ada tiga kasus inses (hubungan seksual antara orang tua dengan anak kandung). Bulan ini, diduga ada satu kasus inses yang tengah diselidiki oleh konselor di sana. “Kalau kita bisa menerapkan collaborative parenting, yang mana anak orang lain adalah anak-anak kita juga, kasus inses ini bisa dicegah sedini mungkin,”sesalnya.
Selain itu, Fatayat NU juga berharap agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) bisa segera disahkan. Pihaknya menyoroti perihal kejelasan tentang pelayanan litigasi pada korban kekerasan seksual. Dia meminta agar negara hadir dalam melindungi korban baik dalam hal perlindungan, kompetensi dan peradilan yang klir dari kekerasan tambahan.
“Paling tidak hal ini membuktikan bahwa di tengah kehebohan tahun politik, tidak menyurutkan kepedulian wakil kita di senayan pada isu kemanusiaan seperti ini,” katanya.
Sementara itu, Mardiko Saputro Koordinator Women and Youth Development Institute Indonesia mengutip data dari Women Learning Partnership (WLP) menyebutkan satu dari tiga perempuan di dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual. Dan biasanya dilakukan oleh orang yang dekat dengan korban. “Yang perlu digaris bawahi adalah persoalan kekerasan ini bukan hanya masalah perempuan, tapi persoalan kemanusiaan,” katanya.
Mardiko juga meminta agar masyarakat tidak terfokus pada angka kejadian karena kasus kekerasan seksual biasanya adalah sebuah fenomena gunung es. “Maka instrumen perlindungan harus ada yang dalam hal ini diatur dalam RUU PKS tersebut,” ujarnya.