Logo

Ini Respon Muhammadiyah terhadap Citayam Fashion Week

Reporter:

Rabu, 27 July 2022 03:00 UTC

Ini Respon Muhammadiyah terhadap Citayam Fashion Week

Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tengah menata Jalan Tunjungan untuk memfasilitasi anak-anak muda yang ingin menyalurkan kreasi bakatnya.

JATIMNET.COM, Surabaya – Citayam Fashion Week (CFW) tengah menjadi fenomena selama beberapa waktu terakhir. Kegiatan fesyen jalanan yang didominasi para remaja ini bermula berlangsung di kawasan Jalan Sudirman DKI Jakarta. Namun, belakangan tengah ramai berlangsung di sejumlah daerah.

Fenomena ini mengundang reaksi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad. Menurut dia, tren itu sebenarnya patut diapresiasi. Namun, pemerintah perlu aktif untuk memantau para khalayak yang tampil agar tidak menyuguhkan hal-hal negatif seperti perilaku LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) maupun pergaulan bebas.

“Di satu sisi adalah wahana kreasi anak muda untuk berekspresi di wahana umum yang sekarang makin sulit di dapat anak-anak muda kebanyakan. Maka, peran pemerintah dan aparat terakit untuk meminimkan sisi buruknya kegiatan tersebut,” kata Dadang dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, Rabu, 27 Juli 2022.

BACA JUGA : Fashion Week di Surabaya Diperbolehkan, Asal Tak Timbulkan Kemacetan

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menyatakan bahwa pemerintah perlu memantau fenomena ini. Adapun tujuannya agar tidak mengganggu ketertiban lalu lintas atau justru menghilangkan aspek kesantunan.

“Sesuai Undang-Undang Dasar, masyarakat memiliki hak dan kebebasan berekspresi. Akan tetap hak dan kebebasan itu hendaknya dilaukan dengan tetap menghormati nilai-nilai agama dan budaya bangsa yang mulia,” ujar dia.

Sementara itu, budayawan Zastrouw Al Ngatawi turut menyoroti fenomena CFW. Menurutnya, hal itu merupakan konsekuensi dari kontestasi di dunia maya.

BACA JUGA : Dianggap Ganggu Kenyamanan, Tunjungan Fashion Week Dihentikan

“Anak-anak muda itu kehilangan ruang ekspresi di dunia nyata. Ruang sosial nyata sudah sangat sempit. Tak ada tempat bermain yang nyaman. Akhirnya mereka menjadikan dunia maya sebagai sarana kanaliasi untuk menuangkan emosi yang tidak tersalurkan melalui dunia nyata,” jelas Zastrouw seperti dikutip dari laman resmi NU.