Senin, 01 October 2018 06:13 UTC
Musim kemarau panjang mengancam produksi padi dan jagung yang diperkirakan turun 39 persen. FOTO: DOK.
JATIMNET.COM, Jakarta – Kemarau panjang yang terjadi tahun 2018 ini mengancam produktivitas padi. Berdasarkan studi dari Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) menunjukkan 14 kabupaten sentra penghasil padi nasional mengalami penurunan produksi hingga 39,3 persen akibat kemarau panjang.
BACA JUGA : PUNCAK KEMARAU, KEKERINGAN MELANDA 11 PROVINSI
Berdasar hasil studi tersebut menyebutkan jika turunnya produksi pada musim kemarau bukan hanya terjadi di tahun ini. Berdasarkan pengamatan AB2TI selama delapan tahun terakhir, kerap terjadi penurunan produksi padi tiap kali musim kemarau menerjang.
“Kalau basah biasanya produksi padi meningkat, sedangkan di musim kemarau, biasanya produksi padi mengalami penurunan,” kata Ketua AB2TI Dwi Andreas, seperti dikutip Antara, Senin 1 Oktober 2018.
BACA JUGA : KEMARAU, RATUSAN EMBUNG DI BOJONEGORO KERING
Andreas menambahkan apabila kemarau panjang menerjang, musim tanam padi akan mundur dibandingkan waktu normal. Umumnya, siklus tanam padi di musim hujan dimulai pada bulan Oktober hingga Desember.
Dengan kondisi kemarau yang panjang tahun ini, musim tanam bisa mundur menjadi November. Ini tentunya akan membuat panen padi menjadi terlambat dibandingkan waktu normal. Pada akhirnya, stok beras nasional akan berkurang untuk menutupi produksi yang telat.
“Apabila musim tanamnya mundur, tidak tertutup kemungkinan stok beras akan berkurang 2,5 juta ton. Dengan catatan, musim tanamnya mundur satu bulan,” lanjutnya.
BACA JUGA : PULUHAN HEKTARE HUTAN DI GUNUNG ARGOPURO TERBAKAR
Kemarau panjang yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia telah menyebabkan dampak kekeringan dan pasokan air. Umumnya petani padi dan jagung yang membutuhkan kebutuhan pasokan air akan semakin besar pengeluarannya, untuk mendapatkan pasokan air.
Sementara itu, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan meskipun kondisi musim kemarau masih terbilang normal, akan tetapi bencana kekeringan tetap melanda beberapa tempat di sebagian wilayah Indonesia.
“Khususnya di Jawa dan Nusa Tenggara. Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang, debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut. Sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air,” kata Sutopo.
Sutopo menyebut kekeringan telah melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten dan kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa yang notabene adalah daerah-daerah sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya.
Dikatakan Sutopo, banyak lahan pertanian mengalami puso atau rusak. Walaupun hal ini tidak berdampak secara signifikan, namun kekeringan harus menjadi perhatian. Sebab jika pertanian mengalami puso, tentu hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat
Ini berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat selain mereka harus membeli air, masyarakat, menyewa pompa, dan sebagainya. “Bayangkan, dalam kondisi seperti ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan Rp 800 ribu untuk sewa pompa air dan membeli solar guna mengaliri sawahnya,” tegasnya.