Jumat, 16 August 2019 02:34 UTC
Ilustrasi Ali Yani.
DUA film yang kisahnya diangkat dari novel Pramoedya Ananta Toer diputar serentak di bioskop-bioskop, pertengahan Agustus 2019. “Bumi Manusia” dan “Perburuhan”. Film pertama disutradarai Hanung Bramantyo dan yang kedua garapan sineas Richard Oh.
Entah kebetulan atau tidak, kedua film yang diproduksi Falcon Pictures ini diputar perdana pada Agustus. Mungkin karena bertepatan dengan bulan kemerdekaan Indonesia, pesan ‘nasionalisme’ dalam novel yang ingin disampaikan melalui film menemukan momentum pasar.
Saya sengaja menyelipkan tanda petik untuk kata nasionalisme karena maknanya menjadi lain jika ditempatkan pada masa berbeda. Tiga dekade lalu, tiga aktivis di Yogyakarta; Bambang Isti Nugroho, Bambang Subono alias Bono, dan Bonar Tigor Naipospos alias Coki, dibekuk tentara gara-gara menyebarkan novel stensilan karya Pram.
Mereka dituduh menyebarkan paham komunisme. Di pengadilan, Bambang Isti divonis 8 tahun penjara, Bono 7 tahun, dan Coki 8 tahun 6 bulan.
Bumi Manusia adalah edisi pertama dari Tetralogi Buru. Sematan Buru muncul karena keempat novel-tiga lainnya “Anak Semua Bangsa”, “Jejak Langkah”, dan “Rumah Kaca”-lahir semasa penulisnya diasingkan ke Pulau Buru. Aktivitasnya di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan Partai Komunis Indonesia, membuat Pram dijebloskan dalam penjara selama 14 tahun. Dari 1965 hingga 1979, tanpa proses peradilan.
Novel ini diterbitkan pertama kali oleh Hasta Mitra pada 1980 dan setahun kemudian, Jaksa Agung langsung melarang peredarannya.
Sekilas, novel ini berkisah tentang upaya Minke membangun kesadaran massa menuju bangsa merdeka. Tokoh utama ini sejatinya citraan Tirto Adhi Soerjo, seorang jurnalis dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. Ia mengasuh surat kabar Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907), dan mendirikan Sarekat Dagang Islam (1909). Kelak, SDI berganti Sarekat Islam dengan salah satu tokohnya HOS Tjokroaminoto, mentor Presiden RI pertama Soekarno.
Sedangkan Perburuan adalah novel yang ditulis Pram semasa dalam penjara pendudukan Jepang. Diterbitkan Balai Pustaka pada 1950, novel ini menjadi satu di antara 70 buku yang dilarang Pembantu Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Kolonel Setiadi Kartohadikusumo sesaat setelah meletus prahara politik 1965.
Di sinilah tafsir atas nasionalisme muncul dalam wajah berbeda. Parahnya, negara menganggap perbedaan tafsir itu sebagai ancaman yang harus diberangus. Bukankah, dalam kredo negara hukum, isi pikiran-termasuk yang termaktub dalam buku-tidak bisa dianggap pelanggaran.
Ironis memang. Lebih ironi ketika pelarangan buku terus terjadi sampai kini.
Di Jawa Timur baru-baru ini saja, dua pegiat literasi di Kraksaan, Probolinggo digelandang ke kantor polisi pada Sabtu, 27 Juli 2019. Gara-garanya, di lapak baca mereka ditemukan buku biografi tokoh PKI DN Aidit dan kajian Marxis.
Enam bulan sebelumnya di Kediri kejadian serupa juga terjadi. Aparat keamanan menyita 100 buku berbau komunisme dari dua toko.
Jika dihitung, tentu tak terbilang lagi berapa peristiwa razia buku di penjuru Indonesia. Bahkan pelaku razia bukan saja aparat pemerintah, tapi sekaligus ormas. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Makassar, Sulawesi Selatan.
Yang lucu adalah sebagian buku yang disita ditulis penulis penentang komunisme.
Dalih tindakan mereka selalu saja Ketetapan MPR-Sementara nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan pelarangan ajaran komunis/marxisme-leninisme, meski pakar hukum tata negara Refly Harun pernah berpendapat, semestinya aturan itu dicabut karena bertentangan dengan konstitusi. Buya Syafii Maarif pun bilang, alasan merazia buku karena diduga menyebarkan komunisme tidak tepat.
Komunis sudah bangkrut. Ideologinya mati dan terkubur di banyak negara. Kalau pun terdengar kabar kemunculannya, itu hantunya. Seperti ramalan duo pendirinya, Karl Marx dan Friedrich Engels, dalam bait pertama “Manifesto Partai Komunis” yang ditulis pada 1848. “Ada hantu berkeliaran di Eropa-hantu komunisme”.
Lantas kenapa takut hantu? Bukankah hanya anak kecil yang takut hantu.
