Selasa, 15 January 2019 06:12 UTC
Foto: AJI
JATIMNET.COM, Surabaya – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan menghentikan penyitaan buku-buku di berbagai daerah yang dilakukan tanpa proses pengadilan terlebih dulu.
“Panglima TNI, Kapolri dan Jaksa Agung harus mengevaluasi personelnya yang merazia dan menyita buku, dan mengembalikannya ke pemilik buku,” kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan melalui siaran pers, Selasa 15 Januari 2019.
Menurut Abdul Manan, dalam sebulan terakhir aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan secara sepihak menyita buku-buku dari 2 lokasi yakni Padang, Sumatera Barat dan Kediri, Jawa Timur.
Mereka menuding tanpa putusan hukum bahwa buku-buku itu mengajarkan komunis. Di Padang, aparat menyita 6 eksemplar dari 3 buku di sebuah toko pada Selasa 8 Januari 2019. Sedangkan di Kediri, aparat menyita lebih dari 100 buku dari 2 toko.
Selain di Padang dan Kediri, aparat juga menyita buku-buku di Gramedia Tarakan, Kalimantan Utara pada hari yang sama dengan kejadian di Padang.
Dasar yang dijadikan aparat gabungan untuk melakukan razia dan penyitaan buku-buku itu adalah TAP MPRS nomor XXV tahun 1966.
“Penyitaan buku-buku ini dilakukan tanpa proses pengadilan seperti yang diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan pada tahun 2010,” ujar Abdul Manan.
Buku-buku tersebut kini sudah dibawa ke Jakarta untuk diteliti untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran TAP MPRS nomor XXV tahun 1966, yang melarang penyebaran ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
Manan melanjutkan, bagi pemilik toko buku, razia dan penyitaan buku yang dilakukan aparat gabungan tersebut telah membuat trauma. Hal tersebut dilontarkan oleh istri pemilik toko buku di Padang. Bahkan ia menyebut akan menutup toko dan melelang seluruh buku-buku yang ada di tokonya.
Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sasmito menyatakan operasi penyitaan buku-buku tanpa putusan hukum merupakan bentuk pelanggaran hak masyarakat atas informasi dan kebebasan berekspresi. Padahal, kata dia, sudah dijamin dalam Pasal 28 E dan Pasal 28 F Undang-undang Dasar 1945.
“Pembiaran razia dan penyitaan buku ini juga mengancam demokrasi di Indonesia. Sebab aparat negara yang semestinya memberikan jaminan terhadap kebebasan berekspresi dan hak masyarakat atas informasi, justru menjadi perampas kedua hak masyarakat tersebut,” ujar Sasmito.