Reporter
Dyah Ayu PitalokaKamis, 6 Desember 2018 - 08:47
TAK ada kata lelah dalam kamus Soesilo Toer (81). Meski malam mulai larut, ia tak henti menerima ajakan foto bareng, tandatangan, dan ngobrol sana-sini. Padahal dalam waktu delapan jam sebelumnya, Soes –sapaannya- hadir di dua diskusi berbeda. Dan pagi besok, ia harus pergi ke Jember.
Sebagai lelaki Lansia, gerakan Soes masih gesit. Ucapannya jelas, pendegarannya pun masih tajam. Hanya rambut dan jambang yang memutih serta tubuh sedikit bungkuk tergilas usia.
Begitulah penampilan Soes, adik mendiang sastrawan Pramoedya Ananta Toer, usai berbicara dalam satu diskusi di sebuah kafe di Kota Malang, Senin 26 November 2018 pekan lalu.
Tak hanya stamina ngobrol, energinya untuk menulis pun serasa tak habis-habis. Dalam diskusi itu, ia bercerita tentang duapuluhan naskah yang menanti di meja rumahnya, di Blora Jawa Tengah. Naskah itu tinggal sunting sebelum naik cetak.
Kuncinya satu, ia membagi tips menulis. Setia pada pacar sejati, Bu Sulami. “Itu singkatan dari buku, surat kabar, majalah, dan intisari,” katanya sembari terkekeh.
Soes tak punya jadwal khusus untuk membaca. Ia menganggap membaca laiknya kebutuhan makan dan tidur.
Seperti beberapa hari belakangan, ia mendapat kiriman sekumpulan surat cinta yang tak pernah terkirim. Naskah itu rencananya diterbitkan jadi buku. Si penulis meminta Soes menulis kata pengantarnya.
“Awalnya bosan tapi semakin lama membaca saya jadi khawatir kehabisan bahan karena ceritanya ternyata sangat kaya,” katanya.
Soesilo Toer di Malang Senin 26 November 2018. Foto Dyah Ayu Pitaloka.
Soes anak ke-7 dari sembilan bersaudara. Ia lahir dari keluarga yang mencintai buku. Ayahnya seorang guru. Buku pertama yang ia baca berjudul “Sebatang Kara”, terjemahan buku berbahasa Prancis karya Hector Malot.
Masuk SMP, Soes mulai menulis Cerpen dan dimuat di majalah Putra-Putri. Pada usia 15 tahun ia memberanikan diri menulis untuk media profesional. Kala itu Soes menulis tips pernikahan dan esai bertema kecantikan di Amerika. Dengan nama samaran, tulisan itu ditanyangkan di Majalah Keluarga asuhan Herawati Diah.
Untuk tulisan itu Soes dapat honor Rp 150. Jumlah itu terhitung besar mengingat uang jajan yang ia terima dari Pram –panggilan Pramoedya Ananta Toer- hanya Rp 10 per bulan.
“Tapi saya nggak berani ambil honornya sendiri karena takut ketahuan siapa yang nulis,” katanya mengenang masa remajanya.
Buku pertamanya berjudul Komponis Kecil -berisi kumpulan Cerpen- terbit pada 1963. Sejak itu, tak kurang dari 20 judul bukunya telah beredar di masyarakat.
BACA JUGA: Komentar Soesilo Toer Soal Film Bumi Manusia
Di tahun yang sama, Soes mendapat beasiswa studi ke Rusia. Pada era itu hubungan Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno memang dekat dengan negeri Beruang Merah.
Sebelas tahun menetap di Rusia, Soes menyabet gelar master dari University Patrice Lumumba dan doktor dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.
Tinggal di Rusia, memberi Soes kesempatan mengunjungi banyak tempat di dunia. Hanya kutub selatan yang belum pernah ia jelajah.
“Kabarnya di sana hanya ada udang yang sedang hibernasi. Nanti kalau es mencair ribuan udang itu akan bangun,” katanya.
Tahun 1973, ia pulang ke Indonesia dan disambut dengan terungku. Selama 5,5 tahun Soes mendekam di balik jeruji Orde Baru. Pemerintahan Soeharto antipati terhadap segala hal yang berbau Rusia dan komunis.
Keluar penjara tak menjadikannya manusia merdeka. Cap eks Tapol terlanjur melekat pada dirinya. Doktor bidang politik dan ekonomi itu sulit cari kerja. Ia memilih jadi pemulung, memungut sampah dari rumah ke rumah.
Impian mengunjungi kutub selatan pun harus dikubur dalam-dalam. “Sepertinya saya tak akan bisa ke sana,” katanya.
Soesilo Toer di Malang Senin 26 November 2018. Foto Dyah Ayu Pitaloka.
Jika Socrates memandang kematian sebagai kenikmatan abadi, maka bagi Soes memulung sampah adalah kenikmatan abadi. “Hidup saya kaya, kaya pengalaman,” katanya.
Lepas pukul 21 malam tiap hari, Soes mengawali kegiatan memulung sampah. Menurut dia, itu agar tak menganggu “jadwal kerja” pemulung lain yang benar-benar menggantungkan hidup dari sampah.
Jadi pemulung ada suka-duka. Ia pernah dimaki tapi pernah juga diajak selfie.
Pernah suatu kali, ia mengingat, gara-gara ulah pemulung yang suka mengacak-acak sampah dan menulis kata asu di tempat sampah, Soes kena marah pemilik rumah. “Malam berikutnya dia (pemilik rumah) minta foto bersama karena melihat saya ada di televisi,” ujarnya.
Kegiatan berikutnya setelah memulung sampah ialah menyortir. Pekerjaan itu berlangsung hingga pagi tiba. Setelah itu sarapan. Baca naskah, tidur, bangun, baca lagi, dan tidur lagi. “Tinggal hitung saja berapa kali tertidurnya,” katanya tertawa.
Soes memang tak sepenuhnya menggantungkan hidup dari sampah. Ia kerap menerima “order” menyunting naskah atau menulis kata pengantar untuk naskah yang disodorkan sejumlah penulis.
Meski Soes tak pernah mematok harga, biasanya mereka tetap membayar. “Mau dibayar atau tidak ya terserah,” katanya.
Ia mengaku sebagai Muslim yang sekaligus menganut falsafah derma agama Budha. “Derma itu mirip sedekah tapi unlimited dan endless,” katanya.
Selain menyunting dan menulis kata pengantar untuk karya orang lain, Soes kini tengah mempersiapkan bukunya.
Ia bercerita tentang keinginan menulis buku berjudul “Lelananing Jagad”, yang berkisah tentang petualangan dengan tiga istri dan beberapa perempuan saat ia hidup di tanah rantau. “Saya kan juga seksolog,” katanya.
Ia pun sering mendapat kiriman bermacam buku di rumahnya di Jalan Sumbawa nomor 40, Jetis Blora. Toh Soes selalu menyebut nama jalan itu sebagai Jalan Pramoedya. Dan di jalan Sumbawa alias Jalan Pramoedya itu pula berdiri Perpustakaan Pataba (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa).